Rabu 12 Feb 2020 20:24 WIB

Pakar: Pemerintah tidak Bisa Serta Merta Menolak Eks ISIS

Nasib eks kombatan ISIS seharusnya diputuskan lewat peradilan in absentia.

Topane Gayus Lumbuun
Foto: Republika/Wihdan
Topane Gayus Lumbuun

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peradilan in absentia atau persidangan tanpa menghadirkan terdakwa dapat menjadi salah satu cara untuk menentukan nasib ratusan warga negara Indonesia (WNI) bekas kombatan ISIS. Hal itu diusulkan oleh mantan hakim agung dan pakar hukum, Gayus Lumbuun.

Menurut Gayus, Pemerintah Indonesia tidak dapat secara serta merta menolak memulangkan lebih dari 600 warga negaranya yang saat ini mengungsi di Suriah dan Turki atau mencabut status kewarganegaraan mereka secara sepihak tanpa melalui persidangan. Karena, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara RI 1945, Indonesia merupakan negara hukum.

Baca Juga

"Itu ada aturan hukumnya. Yang bakar paspor (dapat) dihukum pencabutan warga negara, dipidana seumur hidup, boleh, karena mengkhianati negara, tetapi itu hakim yang memutuskan bukan kekuasaan," kata Gayus usai menghadiri acara diskusi di Kampus Universitas Indonesia di Salemba, Jakarta, Rabu (12/2).

Gayus menjelaskan, hasil keputusan rapat terbatas di Istana Kepresidenan Bogor pada Selasa (11/2) bukan landasan hukum yang sah untuk menentukan nasib para WNI yang sebagian besar diduga menjadi teroris lintas batas (foreign terrorist fighter) ISIS.

"Jadi, ratas hanya memutuskan sementara mencegah (mereka) masuk, selebihnya serahkan ke pengadilan. Jika sulit dihadirkan bisa (peradilan) in absentia. Yang jelas, ini ada suatu langkah hukum (terhadap para WNI mantan kombatan ISIS)," terang mantan hakim Mahkamah Agung itu.

Ia menerangkan, praktik hukum di Indonesia memiliki pengalaman membuat pengadilan in absentia, misalnya untuk kasus-kasus korupsi yang terdakwanya melarikan diri ke luar negeri. Sistem peradilan semacam itu, menurut Gayus, juga tidak memerlukan waktu lama karena pengadilan dapat membuat skala prioritas.

"Pengadilan juga punya skala prioritas, di mana? Ini Jakarta Pusat. Ketua pengadilan nanti dapat memutuskan ini patut disidangkan secara in absentia," ujar Gayus menegaskan.

Pemerintah Indonesia telah memutuskan tidak akan memulangkan para WNI eks ISIS demi menjaga keamanan 260 juta warga Indonesia di Tanah Air. Keputusan itu disepakati Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama para menteri terkait dalam rapat kabinet terbatas yang diadakan di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat.

Walaupun demikian, pemerintah, sebagaimana disampaikan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD, memberi kesempatan pada anak-anak WNI eks-kombatan ISIS dapat melapor ke KBRI di Suriah untuk mendapatkan perlindungan. Pemerintah masih mempertimbangkan untuk memulangkan anak-anak WNI eks kombatan ISIS.

"Kalau anak-anak itu bukan deradikalisasi karena belum terpapar. Kalau umur 10 tahun belum ngerti, tapi istilah UU di-kontra radikalisasi. Kalau sudah terpapar atau terpidana itu deradikalisasi. Kalau anak-anak itu kontra (radikalisasi)," ujar Mahfud, Rabu.

Mahfud menegaskan, pemerintah tidak membuat opsi lain terkait nasib WNI yang menjadi foreigner terrorist fighters (FTF) atau eks kombatan ISI, termasuk proses hukumnya. Pemerintah, kata Mahfud, tidak akan memulangkan mereka ke Tanah Air.

"Ndak ada (opsi), wong mereka pergi dari sini mau diapain? Kita tidak tahu mereka siapanya," ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, di kantornya, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (12/2).

Menurut Mahfud, mereka tidak melapor kepada pemerintah Indonesia. Pemerintah mendapatkan informasi tentang keberadaan mereka dari laporan-laporan temuan yang diberikan oleh otoritas maupun lembaga internasional terkait.

"Mereka kan tidak lapor, hanya ditemukan oleh orang luar, yang menemukan kan CIA, ICRC, ini ada orang Indonesia. Kita juga ndak tahu apanya. Paspornya sudah dibakar, terus mau diapain?" kata dia.

photo
Situs Bersejarah yang Dihancurkan ISIS

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement