REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Melakukan teror dengan membunuh orang tak bersalah dengan alasan apapun tak dibenarkan. Sayangnya, para pelaku teror kerap mencatut jubah agama dan menamai diri dan aksi mereka sebagai kelompok mujahid. Hal ini dinilai sudah pasti keliru.
Jika ditinjau dari segi bahasa, kata mujahid berasal dari kata jahada-yujahidu-jihadan yang artinya bersungguh-sungguh. Bersungguh-sungguh di sini jika diterjemahkan secara istilah menurut Cendikiawan Islam Azyumardi Azra, dapat diterjemahkan ke dalam banyak aspek.
“Misalnya orang yang bersungguh-sungguh dalam belajar, mencari rezeki dan menabung untuk berangkatkan haji kepada orang tua, mereka bisa disebut mujahid,” kata Azyumardi saat ditemui Republika, di Jakarta, belum lama ini.
Mujahid atau orang yang sedang berjihad, kata dia, dapat diartikan hanya kepada mereka yang sedang melakukan aktivitas terpuji. Sedangkan aktivitas teror, atau terorisme, jelas tak boleh disematkan dengan sebutan mujahid.
Dalam buku Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum ‘Jihadis’ karya para peneliti El-Bukhari Institute disebutkan, para teroris kerap mengklaim diri mereka sebagai kaum mujahidin atau jihadis. Hal itu mereka sematkan karena mereka merasa telah mengikuti jejak para mujahid di zaman Rasulullah yang berkontribusi dalam sejumlah perang.
Hal tersebut tentu saja keliru. Dijelaskan bahwa esensi peperangan pada zaman Rasulullah dengan teror para teroris di masa kini berbeda 180 derajat celcius. Sehingga menyebut kaum teroris dengan sebutan kata mujahid atau jihadis adalah kekeliruan besar.