REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Wakapolri Komisaris Jenderal Polisi Gatot Eddy Pramono menilai keberadaan internet menjadi salah satu sarana berkembangnya radikalisme di Tanah Air. Sebab saat ini siapapun bisa bebas mengakses internet dengan menggunakan telepon pintar.
"Ada dua orang polwan di Polda Maluku Utara belajar paham radikal itu melalui media sosial yang terenkripsi, mereka tidak saling kenal tapi seorang polwan bisa dibuat siap jadi pengantin yang melakukan aksi teror," katanya di Padang, Jumat (15/2), saat memberikan Kuliah Umum di Universitas Andalas (Unand).
Menurutnya biasanya polwan sebelumnya sudah mendapatkan wawasan kebangsaan namun karena pengaruh internet akhirnya malah bisa didoktrin. Artinya kalau tidak bijak menggunakan teknologi kemudian belajar sesuatu di media sosial maka bisa jadi permasalahan, kata dia.
Ia juga mengungkapkan dari 61 negara yang diteliti tingkat literasinya ternyata Indonesia berada di urutan ke-60. "Kemudian mayoritas orang Indonesia membaca berita hanya dari headline atau judul saja kemudian langsung membagikan di media sosial," katanya.
Oleh sebab itu perlu meningkatkan kemampuan literasi dan ini menjadi tantangan bersama semua pihak. Pada sisi lain ia menilai semakin tinggi pemahaman seseorang terhadap radikalisme maka akan semakin tinggi keinginannya melakukan perubahan di negara dalam bentuk aksi kekerasan hingga terorisme.
"Apalagi bagi yang ingin mengubah ideologi negara menjadi ideologi lain dengan menggunakan semua sumber daya yang dimiliki," ujarnya.
Wakapolri mengingatkan salah satu tantangan yang dihadapi adalah penggunaan media sosial yang bijak di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi. Apalagi akan ada pihak yang menggunakan media sosial sebagai sarana propaganda dan menyebar ujaran kebencian untuk menciptakan disintegrasi sehingga perlu kewaspadaan menyikapi, ujarnya.
Ia mengajak semua pihak merajut kembali persatuan yang telah dirintis pendahulu bangsa dan mengenyampingkan semua perbedaan karena Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar dan maju.