Selasa 18 Feb 2020 02:18 WIB

Indonesia Perlu Diversifikasi Pasar Ekspor

Dominasi hubungan dagang dengan China membuat Indonesia ketergantungan.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Aktivitas petugas di Pelabuhan Qingdao, Provinsi Shandong, China, beberapa waktu lalu. Pemerintah Indonesia perlu melakukan diversifikasi tujuan ekspor agar tidak bergantung pada China.
Foto: Chinatopix via AP
Aktivitas petugas di Pelabuhan Qingdao, Provinsi Shandong, China, beberapa waktu lalu. Pemerintah Indonesia perlu melakukan diversifikasi tujuan ekspor agar tidak bergantung pada China.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho memprediksi, efek penyebaran virus corona terhadap neraca dagang Indonesia baru akan terasa pada Februari. Dampaknya terasa dari dua sisi, baik itu ekspor maupun impor.

Andry menjelaskan, dampak tersebut berpotensi mengkhawatirkan. Sebab, ketergantungan perdagangan Indonesia terhadap China terbilang tinggi. Khususnya untuk bahan makanan, di mana Indonesia kerap mengimpor beberapa komoditas yang dibutuhkan banyak orang seperti bawang putih.

Baca Juga

"Efeknya nanti besar jika pasokan komoditas pangan terganggu karena sangat memberikan pengaruh ke inflasi dan daya beli masyarakat," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Senin (17/2).

Sementara itu, dari segi ekspor, yang perlu ditakutkan adalah penurunan permintaan dalam negeri China. Penyebaran virus corona diketahui turut membuat ekonomi domestik mereka menjadi lesu, sehingga tingkat permintaan terhadap produk-produk negara lain menjadi ikut melemah.

"Permintaan komoditas andalan kita seperti CPO (Crude Palm Oil/ CPO) dan karet bisa jadi akan menurun," tutur Andry.

Untuk mengantipasi dampak lebih lanjut, Andry menekankan, pemerintah perlu melihat mencoba melihat negara importir mana yang dapat mensubstitusi komoditas pangan dari China. Tapi, mereka dipastian harus dapat memenuhi pasar Indonesia.

Saran serupa disampaikan Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Mohammad Faisal. Ia menganjurkan, pemerintah mengurangi ketergantungan hubungan dagang dengan China. Ia menilai, perdagangan Indonesia hampir 100 persen bergantung ke China. Hal ini dapat terlihat dari impor bahan baku maupun konsumsi yang tinggi dari China. 

Dari sisi ekspor pun, Faisal menjelaskan, China menjadi salah satu pasar utama produk Indonesia. Wisatawan mancanegara asal China juga tercatat sebagai kontributor terbesar kedua sepanjang 2019, setelah Malaysia.

Apabila dominasi hubungan dagang ini terus dilanjutkan, Faisal cemas, ekonomi Indonesia semakin tergantung dengan ekonomi China. "Kita harus mulai diversifikasi negara mitra dagang," ucap Faisal.

Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Kordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir menilai, Indonesia tidak perlu khawatir dengan dampak corona. Khususnya terhadap neraca perdagangan.

Iskandar menyebutkan, kebanyakan ekspor Indonesia ke China kebanyakan sumber daya alam (SDA) yang bersifat sekali-lepas. Berbeda halnya dengan kegiatan ekspor ke Jepang dan Korea Selatan yang masuk dalam rantai pasok global. "Kita biasanya kirim ke China batu bara, bahan bakar mineral, yang sifatnya lepas," ucapnya ketika ditemui di kantornya, Kamis (13/2).

Mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2019, bahan bakar mineral menjadi komoditas terbesar yang diekspor ke China. Nilainya mencapai 6,2 miliar dolar AS atau berkontribusi sekitar 24 persen dari total ekspor Indonesia ke China yang sebesar 25,8 miliar dolar AS pada tahun lalu.

Sementara, untuk Januari 2020, nilainya 548,8 juta dolar AS, 26 persen dari total ekspor Indonesia ke China pada periode yang sama, senilai 2,1 miliar dolar AS.

Dengan kondisi tersebut, Iskandar menambahkan, pemerintah dan industri dapat dengan mudah mengalihkan pasar ekspor China ke negara lain. Sebab, komoditas yang dikirim tidak masuk dalam rantai pasok global dari China. "Kan banyak yang butuh SDA (sumber daya alam) dari kita. Atau, kita bisa juga gunakan untuk keperluan dalam negeri, misalnya gunakan batu bara untuk sumber tenaga pembangkit listrik di sini," ucapnya.

Saat ini, Iskandar menyebutkan, pemerintah pun tengah mengupayakan perluasan pasar ekspor. Negara-negara nontradisional atau yang belum menjadi mitra utama sedang diincar sebagai pengganti China. Tapi, ia tidak menyebutkan negara yang kini tengah menjadi sasaran utama.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement