Sabtu 22 Feb 2020 14:10 WIB

PBB Sebut 10 Tahun Korban Perang Afghanistan Capai 100 Ribu

PBB mulai mendokomentasikan perang Afganistan sejak 10 tahun terakhir.

Rep: Lintar Satria/ Red: Dwi Murdaningsih
Bencana Afganistan. Anak lelaki melewati reruntuhan rumahnya yang rusak akibat hujan deras di Kandahar, selatan dari Kabul, Afganistan, Ahad (3/3).
Foto: AP
Bencana Afganistan. Anak lelaki melewati reruntuhan rumahnya yang rusak akibat hujan deras di Kandahar, selatan dari Kabul, Afganistan, Ahad (3/3).

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL--Dalam laporannya PBB mengatakan korban tewas atau terluka dalam perang di Afghanistan 10 tahun terakhir ini mencapai 100 ribu orang. Angka ini terhitung sejak PBB mulai mendokumentasikan korban perang yang sudah berlangsung selama 18 tahun.

Laporan Misi Bantuan PBB di Afghanistan ini dirilis setelah perjanjian 'pengurangan kekerasan' selama tujuh hari yang disepakati Amerika Serikat (AS) dan Taliban mulai berlaku. Perjanjian tersebut membuka jalan untuk kesepakatan damai yang akan ditandatangani 29 Februari ini.

Washington berharap kesepakatan damai itu dapat menghentikan perang terpanjang AS. Serta membawa pulang pasukan mereka yang masih ada di Afghanistan dan negosiasi antara pemerintah Afghanistan dan Taliban untuk menentukan masa depan negara mereka.

"Hampir tidak ada warga sipil yang lolos dari dampak personal dengan berbagai cara dari kekerasan yang sedang terjadi, sangat penting bagi semua pihak untuk memanfaatkan momen ini untuk menghentikan pertempuran, karena perdamaian sudah lama berlalu, nyawa warga sipil harus dilindungi dan upaya perdamaian sedang berlangsung," kata Sekretaris Jenderal perwakilan khusus PBB untuk Afghanistan Tadamichi Yamamoto, Sabtu (22/2).

Laporan tersebut menyebutkan tahun lalu ada sedikit penurunan jumlah warga sipil yang terluka atau terbunuh. Menurut PBB penurunan terjadi karena jumlah korban kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan ISIS berkurang. Pasukan AS dan pemerintah Afghanistan serta Taliban berhasil menurunkan kekuatan kelompok-kelompok tersebut.

Berdasarkan laporan PBB tahun lalu ada 3.493 warga sipil terbunuh dan 6.989 lainnya terluka. Jumlah korban sipil akibat serang-serangan ISIS memang menurun tetapi korban karena serangan pasukan pemerintah Afghanistan yang didukung AS dan Taliban semakin banyak.

Laporan tersebut mengatakan jumlah korban serangan Taliban naik 21 persen. Sementara jumlah serangan pasukan Afghanistan dan AS yang menjadi sekutu mereka naik menjadi 18 persen.

"Semua pihak yang bertikai harus mematuhi prinsip-prinsip utama pembedaan, proporsionalitas dan pencegahan untuk menghindari korban sipi, orang-orang yang berperang harus mengambil langkah yang dibutuhkan untuk mencegah perempuan, laki-laki, anak laki-laki dan perempuan terbunuh karena bom, peluru, roket dan ranjau yang diimprovisasi," kata ketua komisi tinggi Hak Asasi Manusia PBB Michelle Bachelet.

Perjanjian 'pengurangan kekerasan' di mulai pada Jumat (21/2) tengah malam waktu setempat. Jika semua pihak mematuhi perjanjian tersebut. Maka AS dan Taliban akan menandatangani perjanjian damai di Qatar, tempat kantor politik Taliban berada.

Perwakilan khusus AS untuk Afghanistan Zalmay Khalilzad akan menandatangani perjanjian itu. Sejak ditunjuk bulan September 2018 lalu Khalilzad sudah melakukan negosiasi dengan Taliban selama 18 bulan. Presiden AS Donald Trump berulang kali mengatakan ingin menarik pulang pasukan Afghanistan. Menurutnya di sana pasukan AS menjadi polisi. 

Trump mengatakan tujuan pasukan AS di Afghanistan bukan menjadi polisi. Dalam perjanjian damai Taliban harus menjamin Afghanistan tidak digunakan sebagai markas kelompok-kelompok yang ingin menyerang AS atau sekutunya.

Tantangan terbesar perjanjian damai berasal dari dalam Afghanistan sendiri. Pemerintah Kabul masih kesulitan untuk bersatu dengan Taliban yang menjadi oposisi terkuat mereka.

Presiden Afghanistan Ashraf Ghani yang dinyatakan menang dalam pemilihan umum lima bulan lalu juga harus menghadapi gejolak politik. Pesaingnya menolak hasil pemilihan tersebut dan menuduhnya curang.

Negosiasi antara pemerintah Afghanistan dan Taliban yang juga diharapkan menciptakan gencatan senjata permanen akan digelar pada 10 Maret. Jerman dan Norwegia menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah negosiasi tersebut. Tapi belum ada venue yang sudah dipilih.  

sumber : Ap
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement