Rabu 26 Feb 2020 03:20 WIB

Kerawanan Pilkada Bisa Timbul karena Persoalan Regulasi

Bawaslu menyebut salah satu kerawanan Pilkada 2020 ada di persoalan peraturan.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Yudha Manggala P Putra
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (28/8).
Foto: Republika/Bayu Adji P
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (28/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Fritz Edward Siregar mengatakan, salah satu kerawanan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 akibat persoalan peraturan atau regulasi. Hal itu termasuk dimensi kontestasi yang menjadi indikator Indeks Kerawanan Pemilu (IKP).

"Ada beberapa isu yang masih menjadi perhatian, seperti kontestasi, ada beberapa persoalan peraturan yang bisa menjadi potensi," ujar Fritz dalam konferensi pers peluncuran IKP 2020 di kawasan Jakarta Pusat, Selasa (25/2).

Ia mencontohkan, peraturan terkait boleh atau tidaknya mantan narapidana kasus korupsi mencalonkan diri dalam pemilihan. Sebab, ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai aturan tersebut.

"Seperti bagaimana keputusan MK terakhir mengenai apakah seorang calon mantan napi koruptor bisa menjadi kepala daerah, apakah harus lima tahun, dan bagaimana cara menghitung lima tahun, ini juga menjadi persoalan yang terkait dengan kontestasi karena masing-masing calon memiliki basis di daerah masing masing," jelas dia.

Kemudian persoalan daftar pemilih tetap (DPT) yang menimbulkan kerawanan pilkada. Sebab, beberapa daerah yang ada masyarakat adat tetapi masyarakat adat itu tidak bisa masuk dalam daftar DPT.

Selain itu, persoalan dengan masyarakat berkebutuhan khusus atau disabilitas yang berhak memilih tetapi tidak mendapatkan akses untuk menyuarakan pilihannya. Dengan demikian, ia berharap IKP dapat menjadi bahan pertimbangan berbagai pihak menyusun kebijakan.

"Kalau misalnya tingkat partisipasi rendah di sebuah daerah maka kita bisa melihat sebenarnya masalahnya apa, apakah masyarakat adat, atau penduduk yang tidak terdaftar misalnya atau kurangnya pemahaman kehadiran dalam pemilu," kata dia.

Fritz melanjutkan, yang termasuk dimensi kontestasi diantaranya tentang netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam pilkada. Menurut dia, calon kepala daerah berpotensi menggunakan dukungan ASN atas penyalahgunaan kewenangan untuk mendulang suara.

Fritz mengatakan, pendekatan yang harus dilakukan untuk memastikan ASN netral dalam pilkada akan berbeda di setiap daerah. Melalui IKP, kata dia, pendekatan bisa ditentukan dengan melihat potensi kerawanan sesuai kondisi dan keadaan politik lokal dan faktor lainnya di masing-masing daerah.

Diketahui pemungutan suara secara serentak di 261 kabupaten/kota dan sembilan provinsi yang menyelenggarakan Pilkada 2020 akan dilaksanakan pada 23 September mendatang. Untuk saat ini, tahapan Pilkada 2020 sedang dalam proses pencalonan perseorangan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement