REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Agil Oktaryal menilai, aturan larangan merekam persidangan melanggar asas terbuka untuk umum. Agil menilai aturan itu juga mengancam kebebasan pers.
"Asas ini harus diartikan bahwa persidangan itu bisa diakses melalui alat dan kanal manapun, apalagi tren peradilan di banyak negara mulai terbuka. harusnya kalaupun mau mengatur, ketentuannya bukan "izin" melainkan cukup "pemberitahuan"," katanya. saat dikonfirmasi, Kamis (27/2).
Surat edaran ini, lanjut Agil, sangat mengancam kebebasan pers. Terlebih, kata Agil, sarana dan prasarana peradilan di bawah MA belum memadai untuk menerapkan prinsip keterbukaan. Ia pun membandingkan sarana informasi MA dengan Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, MK dalam hal menyampaika informasi sangat terbuka, cepat, dan terkini.
"Misal risalah yang bisa keluar 1 jam pasca sidang atau rekaman sidang di youtube yang otomatis di upload 10 menit setelah sidang," ujarnya.
Agil menambahkan, adanya poin 9 yang mengatur pidana bagi yang melanggar itu tidak boleh dan fatal. Karena etentuan pidana hanya boleh diatur dalam produk hukum yang pembentukannya melibatkan dua lembaga yakni eksekutif dan legisatif dalam hal ini UU dan Perda.
"Selain itu tidak boleh apalagi di surat edaran. Harusnya aturan yang demikian levelnya adalah di UU bukan di surat edaran karena keterbukaan dalam persidangan adalah salah satu prinsip yang paling esensial," tegasnya.
Diketahui, dalam Surat Edaran yang ditandatangani pada 7 Februari 2020 tersebut terdapat aturan bahwa "Pengambilan Foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan". Surat edaran itu juga memuat poin lainnya di antaranya seluruh orang yang hadir dalam sidang dilarang mengaktifkan HP selama persidangan berlangsung.
Selain itu, pengunjung sidang dilarang keluar masuk ruang sidang untuk alasan yang tidak perlu. Melalui surat edaran itu pula, ketua majelis hakim diminta memeriksa dan menerapkan tata tertib tersebut.