REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Real Estate Indonesia (REI) mendorong pengembang properti berskala kecil dan menengah untuk menjadi perusahaan terbuka dan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) atau go public. Pengembang yang go public disebut berpeluang tumbuh lebih besar.
"Ada potensi pertumbuhan lewat go public. Kalau mau berkembang ya lewat go public," kata Ketua DPD REI Jakarta, Arvin Iskandar, di gedung BEI Jakarta, Kamis (27/2).
Arvin menjelaskan, permodalan merupakan salah satu isu yang dihadapi oleh para pengembang. Dengan go public, pengembang properti bisa mendapatkan alternatif permodalan.
Menurut Arvin, sebagian besar pengembang properti saat ini masih mengandalkan pendanaan dari perbankan. Padahal perbankan memiliki kemampuan yang sangat terbatas dalam memberi pendanaan.
"Kalau lewat perbankan prosesnya cukup panjang, yang kita alami, bank tak bisa lakukan ekspansi untuk beli tanah," tutur Arvin.
Arvin mengatakan pengembang properti yang sudah go public saat ini terbilang sedikit. Menurutnya, masih banyak pengembang yang ragu untuk mencari pendanaan melalui pasar modal.
Arvin mengungkapkan, kurang lebih baru ada sekitar 60-70 pengembang yang tercatat di BEI. Sedangkan yang belum yaitu sekitar 6.000 pengembang.
Arvin berharap akan ada lebih banyak lagi pengembang properti yang memanfaatkan sumber pendanaan dari pasar modal. "Kami harap tahun ini setidaknya lima anggota REI Jakarta bisa go public," tutup Arvin.