REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA), Abdullah, menjelaskan, perizinan untuk memfoto dan merekam persidangan di pengadilan negeri (PN) tak akan dipersulit. Ia meminta pers tak mengkhawatirkan hal tersebut karena transparansi pengadilan termaktub dalam misi MA
"Kita perhatikan misi badan peradilan," jelas Abdullah melalui sambungan telepon, Kamis (27/2).
Salah satu misi badan peradilan itu, kata dia, ialah meningkatkan akuntabilitas dan transparansi. Menurut Abdullah, misi keempat MA itu merupakan jaminan bagi pers untuk melakukan peliputan di pengadilan. Ia mengatakan, misi itu harus diwujudkan di pengadilan.
"Sudah dijamin oleh misi MA yang keempat, yaitu akuntabilitas dan transparansi badan peradilan. Nah, jadi enggak usah khawatir. Itu salah satu misi MA yang harus diwujudkan di pengadilan," kata dia.
Proses perizinan untuk pengambilan foto, rekaman suara, rekaman televisi, di persidangan itu masih dalam proses penyosialisasian. Masing-masing PN akan menindaklanjuti hal tersebut.
"Masalah itu kan masih dalam sosialisasi. Tanggal 7 (Februari) baru ditandatangani dan di-publish. Nanti masing-masing pengadilan akan menindaklanjuti, gimana nih caranya," jelas dia.
Ia menjelaskan, aturan tersebut bukan berarti pelarangan bagi pers untuk meliput. Aturan itu hanya berupa tata tertib agar sidang yang sakral dapat berjalan dengan baik. Menurut dia, seluruh pihak yang berperkara, termasuk para hakim, harus berkonsentrasi penuh selama persidangan.
"Ditata agar tertib kapan boleh diambil kapan tidak, mana yang boleh mana yang tidak. Masalahnya kan sidang itu sakral. Hakim konsentrasi, penggugat konsetrasi, tergugat konsentrasi," kata dia.
Mahkamah Agung melalui Ditjen Badan Peradilan Umum menerbitkan Surat Edaran Nomor 2 tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan. Surat edaran itu di antaranya melarang pengambilan foto, perekaman suara, dan perekaman video sidang tanpa seizin ketua pengadilan negeri setempat.