REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Satu bulan lamanya Syekh Hasan Maksum tinggal di Labuhan. Meskipun di Tanah Suci namanya dikenal luas, di daerah ini masyarakat belum begitu menjadikannya tokoh utama. Syekh Hasan pun lebih menyukai cara zuhud dalam mengamalkan dan mengajarkan ilmunya. Apalagi, kebanyakan warga Labuhan lebih disibukkan dengan aktivitas perdagangan daripada keilmuan. Wajar bila mereka belum begitu acuh pada nama dan reputasi sang syekh.
Bagaimanapun, Syekh Hasan diterima dengan amat baik di Titi Papan, Labuhan. Masyarakat sekitar madrasah itu juga menghormatinya sebagai ulama panutan. Pada 22 Jumadil Awal 1335 H atau 15 Maret 1917, ia dan keluarga hijrah ke Medan. Sama seperti sebelumnya, ia menyibukkan diri dengan aktivitas dakwah dan mengajar di sana. Masyarakat setempat pun cenderung mengenalnya sebagai ulama biasa,alih-alih seorang syekh yang telah dua dekade mengajar di Masjid al-Haram. Keadaan ini sama sekali tidak membebani Syekh Hasan. Justru dirinya lebih menyukai jauh dari popularitas.
Sembilan tahun lamanya Syekh Hasan menyebarkan ilmu-ilmu agama Islam di Medan. Ia tidak hanya mengajar di madrasah, tetapi juga rumahnya sendiri serta sejumlah masjid-termasuk Masjid Raya al- Mashun, Masjid Gang Bengkok, Masjid Kampung Percut, Masjid Kampung Bandar Setia, dan Masjid Bagan Deli. Pada 1925, masyarakat Sumatra Timur diramaikan oleh kabar kedatangan seorang ulama dari Makkah. Namanya, Syekh Abdul Qadir al-Mandiling. Suatu hari, alim asal Mandailing itu hadir dalam suatu rapat antarulama di rumah Syekh Muhammad Ya'kub.
Tuan rumah itu menanyakan makna suatu berita yang pernah dilontarkan Syekh Abdul Qadir. Akhirnya, Syekh M Ya'kub menyadari, sudah lama di Medan ada seorang alim dengan kadar keilmuan yang tinggi dan pula pernah mengajar lama di Makkah. Adalah ia itu- Syekh Hasan Maksum-seorang di antara alim yang telah mencapai maqam yang tinggi. "Sebab itu, kamu sekalian aku nasihatkan, apabila kelak ia telah menjadi ulama besar Kesultanan Deli ini, janganlah lupa dan lalai untuk menuntut ilmu kepadanya," begitu pesan Syekh Abdul Qadir.
Sejak saat itu, para tokoh dan masyarakat Muslimin pada umumnya kian menghormati Syekh Hasan Maksum. Bak baru terbangun dari tidur panjang, mereka akhirnya menyadari, betapa selama ini sudah ada seorang tokoh besar hidup dan tinggal bersama mereka. Hal itu juga menandakan, bertahun-tahun lamanya Syekh Hasan mengabdikan dirinya dalam dakwah dan pendidikan tanpa merasa perlu popularitas. Bagaikan padi yang berisi, kian berilmu kian merunduk di tengah manusia dan hanya kepada Allah mengharapkan ridha semata.
Seiring waktu, murid-murid Syekh Hasan kian bertambah banyak. Mereka berjumlah ribuan orang dan datang dari berbagai daerah. Kadangkala, pengajiannya diadakan di rumahnya sendiri. Namun, ketika jumlah hadirin tak lagi terbendung, majelis ilmu pun digelar di Masjid Raya al-Mahsun. Mereka yang mengikuti ceramah Syekh Hasan berasal dari berbagai kalangan--tua, muda, penduduk tempatan maupun pendatang. Salah satu lokasi pengajiannya kini menjadi langgar yang dikenal sebagai Mushala Hasan Maksum.Letaknya di Jalan Puri, Medan. Lokasi lainnya adalah suatu langgar di Wilhelminastraat--kini sudah menjadi Jalan Japaris.