REPUBLIKA.CO.ID, Muhyiddin, Ronggo Astungkoro, Antara
Puluhan penceramah mengikuti program standardisasi kompetensi dai angkatan ketiga yang dilaksanakan Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesi (MUI) di kantor MUI pusat, Jakarta Pusat, Kamis (5/3). Dalam acara tersebut, ustaz senior dan junior berkumpul bersama Komisi Dakwah di kantor MUI. Diantaranya adalah Ustaz Yusuf Mansur, Ustaz Das’ad Latif, Ustaz Maulana, Ustaz Subki al-Bughuri, Habib Nabil al-Musawa, Ustazah Lulung Mumtazah, dan Ustazah Umi Makki.
Ketua Komisi Dakwah MUI KH Cholil Nafis dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Jumat (6/3), menyatakan, peserta angkatan ketiga sudah kompeten untuk memberikan ceramah di televisi. "Walhamdulillah, sudah selesai acara standardisasi kompetensi dai di lembaga penyiaran dengan baik dan sukses. Ada sekitar 84 orang yang hadir dari kalangan asatidz yang biasa menghiasi layar kecil dengan ceramah-ceramah yang aneka ragam," ujar Cholil.
Kiai Cholil mengatakan, tujuan dan target kegiatan standardisasi dai angkatan ketiga ini adalah menyatukan persepsi dan paradigma dakwah (taswiyatul afkar) yang baik. Selain itu, menurut dia, standardisasi dai juga sebagai sarana koordinasi langkah dakwah (tansiqul harakah) yang baik guna efektivitas dakwah dan berbagi peran antar-asatidz serta untuk melindungi umat (himayatul ummah) dari paham yang sesat.
Acara ini juga menghadirkan narasumber kunci Menko Polhukam Prof Mahfud MD yang menjelaskan tentang relasi agama dan negara. Menurut dia, negara yang berdasarkan Pancasila wajib melindungi agama, sementara agama yang diakui di Indonesia wajib memberi nilai keagamaan yang baik agar negara menjadi bermartabat.
"Indonesia bukan negara agama, tapi juga bukan berarti antiagama. Nagara Indonesia menempatkan agama dan negara menjadi kemitraan yang inheren di dalamnya," kata Mahfud.
Dalam kesempatan itu, Mahfud juga menyoroti tayangan rubrik keagamaan di televisi-televisi Tanah Air. Mahfud menilai, banyak pengelola rubrik keagamaan di televisi yang tidak mengerti agama. Ia melihat sembarang orang diberikan tempat untuk berceramah di televisi.
"Sembarang orang disuruh ngomong. Kasih judul ini, salah lagi. Baca ayat, salah. Baca hadits, salah, makhrajnya salah," ujar Mahfud.
Mahfud kemudian mempertanyakan pihak yang memilih tema dan ustaz yang tampil di televisi. Pasalnya, ia melihat adanya ceramah atau omongan yang justru menyesatkan masyarakat. Karena itu, ia menilai MUI dan Komsi Penyiaran Indonesia (KPI) perlu bekerja sama mengundang televisi untuk membahas hal tersebut.
"Ini orang dikarbit hanya karna bisa ngelucu, bisa cerita horor, bisa mendramatisir masalah, lalu dijadikan sebagai dai. Saya kira ini TV apa ini? Soalnya Alquran dijadikan dagelan dan itu bertahun-tahun di TV," katanya.
Ia juga mengusulkan dalam pertemuan itu nantinya dicarikan konsultan untuk konten-konten keagamaan. Menurut dia, banyak ulama di MUI yang bisa menyajikan konten keagamaan dengan beragam cara, baik dengan cara melucu maupun serius.
"Kiai-kiai yang lucu bisa, ndak usah cari-cari sendiri. Asal ketemu pelawak, lalu disuruh. Majelis ulama bisa kok carikan itu. Yang bisa ngelawak, bisa. Yang bisa nakut-nakuti, bisa. Ahlinya banyak tuh di pesantren," kata dia.
Rencana sertifikasi dan standardisasi terhadap khatib awalnya dikemukakan mantan menteri agama Lukman Hakim Saifuddin pada 2017. Saat itu Lukman yang masih menjabat sebagai menag mengaku menerima keluhan masyarakat yang mendapati khutbah mengandung ejekan-ejekan terhadap kelompok lain serta provokasi hingga dikhawatirkan memecah belah persatuan dan kesatuan.
Rencana sertifikasi dan standardisasi dai Lukman saat itu menuai pro dan kontra. Rencana Lukman akhirnya direalisasikan pada era Menag Fachrul Razi. Angkatan pertama melaksanakan program sertifikasi dan standardisasi pada November 2019.
Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Saadi pada Desember 2019 menegaskan, sertifikasi dai itu merupakan upaya MUI untuk meningkatkan kompetensi penceramah. Menurut dia, melalui sertifikasi, dai benar-benar memiliki pengetahuan keagamaan yang memadai dan komitmen kebangsaan yang kuat.
"Dua hal ini yang sesungguhnya menjadi tujuan dari program dai bersertifikat," katanya.
Wamenag pun memastikan sertifikasi dai sifatnya voluntary atau sukarela sehingga tidak ada paksaan dalam proses pemberian sertifikat uji kompetensi penceramah tersebut.
"Ini sifatnya voluntary, sukarela. Tidak kemudian diartikan yang tidak mengikuti sertifikasi ini tidak boleh ceramah," kata Zainut.
Menurut Zainut, MUI memiliki jaringan dari tingkat pusat hingga daerah untuk memproses program dai bersertifikat. "Tentu berdasarkan zona wilayah, panduannya dari pusat. MUI juga bekerja sama dengan ormas Islam yang juga mengerjakan hal yang sama. Fastabiul khairat (berlomba dalam kebaikan)," katanya.
Karena itu, dai bersertifikat itu merupakan program MUI yang berupaya memberi sertifikat kompetensi penceramah. "Apakah nanti di masjid, di tempat majelis taklim, mensyaratkan yang memberikan ceramah sudah bersertifikat atau tidak, itu lain, kan gitu," katanya.