Senin 09 Mar 2020 09:29 WIB

Kekhawatiran Resesi dan Bear Market Meningkat di AS

Investor semakin khawatir tentang sejumlah faktor ketika corona menyebar di AS

Bursa Efek New York, Wall Street
Foto: AP
Bursa Efek New York, Wall Street

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Kata-kata bear market (pasar yang lesu) dan resesi sedang digunakan dengan frekuensi semakin meningkat di Amerika Serikat (AS). Hal tersebut dikarenakan para investor mencoba menilai seberapa parah wabah virus corona akan merusak pertumbuhan global dan sejauh mana itu bisa lebih jauh membebani harga-harga aset.

Wabah yang semakin cepat telah memicu ayunan keras di pasar di seluruh dunia. Banyak investor mengatakan hanya ada sedikit kejelasan tentang lintasan apa yang akan diambil oleh virus dan seberapa efektif langkah pemerintah, sehingga sulit untuk mengukur seberapa besar kerusakan ekonomi yang telah dimasukkan ke dalam pasar-pasar aset.

Baca Juga

Rabobank dalam sebuah catatan awal pekan ini mengatakan strategi awal di sebagian besar negara-negara Barat, yang tidak melakukan apa-apa dan memberi tahu semua orang baik-baik saja, tidak efektif.

Ketika virus ini menyebar di AS, para investor menjadi semakin khawatir tentang sejumlah faktor, termasuk apa yang oleh beberapa orang sebut sebagai tanggapan pemerintah yang tidak merata, kebingungan tentang jumlah kasus di negara ini dan kekhawatiran bahwa mereka takut tertular virus atau pembatasan pergerakan yang diberlakukan pemerintah akan menekan belanja konsumen dan merusak perekonomian.

“Pasar belum mengetahui fakta. Kami berpikir 20 persen lebih rendah lagi di pasar ekuitas tahun ini,” kata John Lekas, CEO dan Manajer Portofolio Senior di Leader Capital, yang melihat kemungkinan resesi.

"Pada dasarnya kita baru saja melompat dari gedung 20 lantai dan kita berada di lantai 10."

Sembilan belas orang telah meninggal dari sekitar 450 kasus virus corona baru yang dilaporkan di AS, yang berasal dari China dan menyebar dengan cepat ke seluruh dunia. Lebih dari 3.600 orang secara global telah terbunuh.

Analis di Deutsche Bank menguraikan skenario di mana indeks S&P 500 jatuh ke dalam bear market - umumnya didefinisikan sebagai penurunan harga 20 persen atau lebih dari tertinggi - jika penyakit tidak teratasi dengan cepat. Indeks turun sekitar delapan persen dari puncaknya pada Jumat (6/3).

"Pasar hanya bergerak dari yang secara signifikan dinilai terlalu tinggi ... menjadi yang sangat moderat," tulis para analis di bank. "Ekuitas belum mempertimbangkan penurunan dalam makro dan pertumbuhan pendapatan dari penurunan aktivitas yang diperkirakan."

Skenario utama bank memperkirakan penurunan 15 persen hingga 20 persen pada saham AS diikuti oleh rebound. Pandangan yang lebih pesimistis melihat penurunan dan resesi yang lebih besar.

Ledakan dalam volatilitas pasar telah terjadi ketika bull market (pasar yang bergairah) menandai tahun ke-11. Penutupan terendah S&P 500 setelah krisis keuangan 2008 adalah 676,53 poin pada 9 Maret 2009. Tertinggi terbaru indeks adalah 3,393 poin pada 19 Februari.

Sebuah laporan dari Bank of America Merrill Lynch membandingkan virus corona dengan kecelakaan kereta api yang bergerak lambat di mana pasar datang secara perlahan dan progresif pada realisasi besarnya peristiwa yang sedang berlangsung.

Michael Purves, CEO di Tallbacken Capital Advisors, mengatakan sektor teknologi 'masih terlalu kuat'. "Sampai kita melihat beberapa penjualan yang lebih kuat di bidang teknologi, kita tidak akan puas bahwa penjual terlambat dalam mengambil tindakan,” ujar Purves menambahkan.

Beberapa analis berfokus pada potensi tekanan pada pertukaran (swaps) mata uang lintas batas, yang digunakan lembaga untuk melindungi nilai mata uang dan mendapatkan akses ke pendanaan mata uang asing, serta instrumen lain yang berfungsi sebagai 'pipa' pasar uang. Yang lain khawatir tentang pasar kredit dan akses bisnis ke uang tunai.

Para investor dalam minggu mendatang akan melihat ke sejumlah data AS, termasuk pada optimisme bisnis kecil dan harga konsumen, untuk mengukur seperti apa bentuk ekonomi AS bulan lalu, sebelum virus corona mulai menyebar begitu luas dan cepat.

Menurut analisa dari Oxford Economics, ancaman paling serius terhadap ekonomi mungkin tidak datang dari jumlah kasus atau kematian, tetapi lebih dari korban yang mengganggu kehidupan sehari-hari, membatasi aktivitas perjalanan dan kemungkinan pembatasan pemerintah yang diambil.

Perusahaan sekarang memperkirakan peluang 35 persen resesi terjadi di Amerika Serikat tahun ini, naik dari perkiraan 25 persen yang dibuat pada awal Januari.

sumber : Antara/Reuters
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement