Senin 09 Mar 2020 13:44 WIB

Klarifikasi KPK Soal Hilangnya Nilai Religiusitas

Dewas KPK menilai substansi kode etik saat ini tak banyak berubah.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Teguh Firmansyah
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri

REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA -- Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi telah merampungkan revisi kode etik untuk pimpinan KPK Filri Bahuri cs. Salah satu yang diubah dalam revisi terbaru itu adalah  digantikannya nilai religiusitas dengan sinergi dalam nilai dasar KPK.

Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri menegaskan, nilai religiusitas tersebut KPK cantumkan di dalam mukadimah kode etik dan pedoman perilaku KPK. Menurut KPK, religiusitas merupakan pelaksanaan keyakinan beragama atau nilai-nilai sprititualitas yang diyakini kebenarannya berdasarkan agama dan kepercayaan masin-masing.

Baca Juga

"KPK memandang religiusitas merupakan nilai tertinggi yang memayungi seluruh nilai dasar yang ada dalam kode etik saat ini meliputi integritas, keadilan profesionalisme, Kepemimpinan dan sinergi," kata Ali saat dikonfirmasi, Senin (9/3).

Sebelumnya, Ketua Dewas KPK, Tumpak Hatorangan mengatakan, substansi kode etik saat ini tak banyak berubah dengan sebelumnya. Hanya saja, ada salah satu nilai dasar baru yakni sinergisitas. Penambahan nilai itu, kata Tumpak, merupakan representasi dari regulasi KPK hasil revisi.

"Undang-undang baru itu dijelaskan bahwa KPK harus melakukan kerja sama yang baik, bersinergi, kordinasi dan supervisi secara baik," ujar Tumpak. 

"Bahkan, di situ juga ada joint operation. Di dalam penjelasan undang-undang itu kita cantumkan itu sebagai salah satu nilai dasar, sinergi," kata Tumpak menambahkan.

Tumpak mengklaim, kode etik tersebut tidak akan menimbulkan konflik kepentingan. Bahkan, Tumpak meyakini kode etik tersebut tetap akan menjaga nilai indepedensi lembaga antikorupsi.

"Oh tidak (rawan konflik kepentingan). Indpendensinya juga kita atur sedemikian rupa. Sinergi tak berarti kompromi, itu jelas disebut di kode etik kita," tutupnya.

Sementara mantan Penasihat KPK, Abdullah Hehamahua menyayangkan penghapusan nilai itu. Ia menilai dengan hilangnya nilai religiusitas dari nilai-nilai dasar pribadi pegawai KPK, penanganan korupsi  bisa semakin barbar. Sebab, penanganan korupsi tidak lagi ditangani secara profesional dan berintegritas, tapi akan dilakukan sesuai dengan order penguasa dan pengusaha.

"Maka terjadilah senjata penegak hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas," ujarnya.

photo
Mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua (kiri). - (Republika/Yasin Habibi)

Konsekuensinya, lanjut Abdullah, kasus korupsi yang melibatkan pejabat dan masyarakat yang tidak punya dukungan penguasa dan pengusaha, segera diproses dan dipenjarakan. Sementara pejabat atau masyarakat yang mendapat dukungan penguasa dan pengusaha akan dibiarkan merajalela.

"Hal tersebut dapat dilihat dari penanganan kasus besar seperti BLBI, reklamasi, KTP, -elektronik, Meikarta, BPJS, Asabri, Jiwasraya dan laimnya dibiarkan saja," kata dia.

Dasar filosofi religiusitas

Abdullah menjelaskan, nilai dasar KPK meliputi religiusitas, integritas, keadilan, profesionalisme dan kepemimpinan. Ia pun menceritakan, terpilihnya religiusitas menjadi nilai dasar KPK lahir dari hasil diskusi sekitar 100 pegawai dan lima pimpinan KPK periode 2005.

"Dasar filosofinya sila pertama pancasila dan Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Di KPK jilid I dan II, nilai dasar KPK adalah integritas, profesional, produktivitas, transparan, kepemimpinan, dan religiusitas," terang Abdullah.

Menurut Abdullah, kalau religiusitas berada di urutan keenam, tidak berarti masalah religiusitas merupakan pilihan terakhir. Tetapi, nilai satu sampai dengan lima harus bernafaskan religi sesuai dengan sila pertama pancasila yang merupakan kausa prima terhadap empat sila lainnya.

"Dalam kepemimpinan KPK  edisi ketiga, nilai religiusitas dinaikkan ke urutan pertama untuk memastikan bahwa nilai-nilai kepribadian KPK itu seperti pancasila di mana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa," terangnya lagi.

Bahkan, lanjut dia, aplikasinya, syarat menjadi pegawai KPK adalah integritas dan profesional. Seorang diterima menjadi pegawai KPK jika nilai integritasnya minimal empat dari rentang satu sampai dengan lima.

Ketika rekrutmen pegawai, pimpinan khususnya Biro SDM tidak memerhatikan persyaratan integritas tersebut, maka organisasi akan mengalami masalah, baik berkaitan kinerja lembaga maupun perilaku pimpinan dan pegawai. "Dugaan saya, masalah yang terjadi di internal KPK sekarang disebabkan pengabaian terhadap nilai-nilai integritas, baik dalam rekrutmen pegawai, pejabat maupun pimpinan KPK," ujar Abdullah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement