Sabtu 14 Mar 2020 19:56 WIB

Ingin Berdzikir? Jangan Abaikan Etikanya

Dzikir juga memiliki etika yang perlu dilakukan seorang hamba.

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Muhammad Hafil
Dzikir kepada Allah (ilustrasi)(blog.science.gc.ca)
Foto: blog.science.gc.ca
Dzikir kepada Allah (ilustrasi)(blog.science.gc.ca)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdzikir, mengingat Allah SWT adalah inti dari semua ritual ibadah. Segala bentuk penghambaan dan ketaatan seorang Muslim akan hampa makna bila tak disertai dzikir. Berdzikir di sini, menurut tokoh sufi ternama Imam al-Junaid, menghadirkan Sang Khalik di hati dan pikiran dengan segala bentuk kepasrahan dan penghormatan. Aktivitas ini akan berimbas pada munculnya rasa takut dan ketaatan untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Di sinilah letak kebesaran dzikir. “Dan sesungguhnya, mengingat Allah adalah lebih besar.” (QS al-Ankabuut [29]: 45). Rasulullah SAW dalam hadis riwayat at-Tirmidzi menyatakan, dzikir memiliki keutamaan yang besar.

Baca Juga

Berdzikir adalah sebaik-baik amal. Dzikir ialah perbuatan yang paling berkualitas di sisi-Nya dan mampu mengangkat derajat seorang hamba lebih tinggi lagi. Rasul dalam hadis itu juga menempatkan dzikir lebih utama dibanding berhadapan dengan musuh yang tanpa disertai dengan dzikir.

Syekh Muhammad Shalih al-Munjid dalam artikelnya berjudul “Adab Dzikrillah”menjelaskan, kelebihan dzikir terletak pada fleksibilitasnya. Dzikir tak terbatas oleh ruang dan waktu.

Kapan dan di mana saja, seseorang bisa mengingat Sang Pencipta. Karenanya, dzikir merupakan amalan satu-satunya yang diperintahkan Allah untuk diperbanyak. “ Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS al-Ahzab [33]: 41).

Sahabat Mu'adz bin Jabal mengatakan, kriteria para penghuni surga ialah mereka akan menyesal bila melewatkan sesaat pun tanpa berdzikir. Tentunya, dzikir yang berkualitas. Dzikir yang memicu rasa takut, kecintaan, dan takwa, serta iman kepada-Nya.

Ketiadaan efek positif dari berdzikir tersebut dijadikan sebagai salah satu tanda-tanda kemunafikan. Para munafik, tak lepas berdzikir. Tetapi, dzikir yang dilakukan tak berbekas apa pun di kehidupan nyata mereka. “Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS an-Nisaa' [4]: 142).

Syekh Shalih mengatakan, bila keimanan seseorang diumpamakan sebuah pohon, akidah adalah akar yang bercokol kuat, amal saleh diibaratkan ranting pohon, dan budi pekerti mulia adalah buahnya. Maka, dzikir adalah air jernih yang senantiasa mengaliri dan membasahi tanaman itu.

Ini seperti riwayat dari ad-Dailami, yaitu membaca Alquran dan berdzikir akan menumbuhkan keimanan di kalbu, laksana air menghidupi pohon. “Perumpaan orang yang berdzikir dan tidak, seperti orang hidup dan mayat,” sabda Rasulullah di riwayat Bukhari.

Jika lidah basah oleh dzikir dan hati terbentengi dengannya, nafsu akan terjaga dari perkara yang batil. Dengan memperbanyak dzikir yang khusyuk, akan menghindarkan diri dari perbuatan dosa. Mereka yang bergelimang dosa adalah pribadi-pribadi yang tandus dari dzikir. “Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS al-Kahfi [18]: 28).

Keutamaan ini tidak hanya berlaku secara personal. Keistimewaan berdzikir bisa diperoleh secara kolektif dan berjamaah. Berdzikir secara berjamaah juga sangat bermanfaat. Hadis riwayat Muslim menyebutkan, tidaklah sekolompok orang yang berdzikir bersama kecuali para malaikat akan mengelilingi mereka. Rahmat Allah bersama mereka yang berdzikir, ketenangan akan mereka peroleh, dan Allah akan mengingat mereka.

Namun, kata Syekh Shalih, dalam berdzikir ada etika. Serangkaian etika itu, akan menyempurnakan dan menambah kualitas dzikir. Apa saja? Ia menguraikan, bila ingin mengonsentrasikan diri berdzikir, pertama kali yang penting dilakukan ialah mencari waktu yang tepat dan efektif. Misal, pada pagi dan malam hari. Di riwayat Muslim dijelaskan, berdzikirlah saat fajar dan bakda shalat Ashar.

Jangan lupa, kata Syekh Shalih, ketika akan memfokuskan diri berdzikir, hendaknya bersuci terlebih dahulu. Baik dari hadas kecil atau besar. Ketika berhadas kecil maka berwudulah. Wudu yang dilakukan secara benar, kata Umar bin Khatab, akan mengusir setan.

Lalu, duduklah dengan saksama dan khusyuk. Konsentrasikan pikiran dan hati Anda, hanya kepada-Nya. Hiraukan sementara kebisingan dan hiruk-pikuk duniawi di sekitar Anda. Bila diperlukan, pejamkan mata Anda. Ini akan memudahkan Anda menekan hawa nafsu.

Mulailah dengan beristighfar dan bertobat atas segala dosa yang pernah diperbuat. “Dan (juga), orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka.” (QS al-Imran [3]: 135).

Serapi dan maknai tiap kebesaran Sang Pencipta. Dia yang menciptakan segala yang ada di alam semesta. Kekuasaannya tak terbatas. Ia memberikan kesempatan jantung berdetak tiap detiknya. Membiarkan paru-paru untuk menghisap udara. Raga dan jiwa beraktivitas berkat kuasa-Nya.

Tancapkan dalam kalbu, keluarkan melalui lisan, dan tundukkan jiwa. Dzikir yang berasal dari relung hati paling dalam akan menggerakkan seluruh anggota tubuh. Tak terkecuali menyulut air mata. Menangislah.

Dengan menangis, seperti dalam hadis riwayat Abu Ya'la dari Ibnu Abbas, mata tersebut kelak tak akan tersentuh bara api neraka. Dan, tak ketinggalan, aktualisasikan manfaat dan buah berdzikir di kehidupan nyata.

Serasikan antara kesalihan dzikir dan kesalihan sosial. Pemuka sufi tersohor, Hasan al-Bahsri, pernah berkata, berdzikir antara hamba dan Tuhannya memang utama. Lebih mulia lagi, bila dzikir menjadi daya penggerak kesalehan di muka bumi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement