REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selain masalah transparansi data, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) juga mendesak pemerintah untuk memberikan data secara real-time pasien Covid-19. Hal itu dibutuhkan mengingat data yang terlambat akan menyebabkan penularan Covid-19 lebih cepat terjadi.
"Betul kita tidak boleh menakuti-nakuti. Kita tidak boleh bereaksi berlebihan, tapi kalau kurang reaksi, tidak bereaksi sama sekali, kita akan telat," kata Ketua IDAI dr Aman Pulungan, SpA(K) di Jakarta, Senin.
Menurut Aman, kini saatnya bereaksi dengan tepat. Jika terlambat, kelak sulit untuk menangani buruknya perkembangan kasus Covid-19.
Kami dari tim dari IDAI yakin bahwa pemerintah tahu data-data dari provinsi mana saja kasusnya . Kalau datanya tahu, buatlah klasternya, jelaskan. Ungkap episentrumnya. Tidak perlu ditutup-tutupi," ujarnya.
Aman mengatakan, keterbukaan informasi dan kecepatan pengungkapan informasi diperlukan para dokter. Ia mengingatkan bahwa tugas profesinya ialah melindungi hak 90 juta anak Indonesia untuk hidup dan untuk sehat.
"Tolong dong, jangan buat kami bingung. Kalau kami saja bingung harus ngapain, bagaimana coba? Saya kan harus memberi semangat ke seluruh anggota dan lain-lain. Tolong juga pemerintah memikirkan kami juga manusia yang juga butuh energi dan stamina sampai selesai ini semua," ujarnya.
Aman menjelaskan, kalau dilihat dari kurva di China butuh tiga bulan untuk badai Covid-19 mereda. Namun, untuk di Indonesia, semua ahli tidak akan bisa memprediksi ini dengan tepat ketika data yang diberikan bukanlah data yang asli dan termutakhirkan.
"Kami mau data asli dan real time. Jangan data dua pekan lalu dikasih tahu sekarang. Kami tidak akan ekspose datanya memang, kami tahu etik dan lain-lain. Tapi kami tidak bisa mempergunakan kemampuan ataupun ilmu kami ketika tidak tahu data," ujarnya.
Selain itu, sebaiknya data-data semua ahli-ahli epidemologi, ektrapolasi-ektrapolasi jangan diganggu dengan segala macam informasi yang tidak perlu, yang tidak ada dasar scientificly proven ilmiahnya. "Siapa saja yang berbicara kalau tidak ada scientificly proven evidence base stop bicara kalau untuk media dan scientific."