Selasa 17 Mar 2020 13:40 WIB

Rokok Murah Bertentangan dengan Visi Kesehatan Pemerintah

Rokok murah di bawah harga banderol merupakan hal yang aneh.

Red: Budi Raharjo
Rokok di pajang di salah satu toko ritel. (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Rokok di pajang di salah satu toko ritel. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah menaikkan tarif cukai rokok rata-rata 23 persen dan harga jual ecerannya (HJE) rata-rata 35 persen pada tahun lalu. Kebijakan yang bertujuan untuk menekan prevalensi perokok, khususnya anak-anak dan remaja ini efektif berlaku terhitung 1 Januari 2020.

Namun, kebijakan ini belum mampu menekan peredaran rokok murah di pasaran. Ketua Indonesia Lawyer Association on Tobacco Control (ILATC), Muhammad Joni mengatakan harga jual rokok yang jauh lebih murah ketimbang banderol bertentangan dengan visi pemerintah tentang menciptakan sumber daya manusia yang unggul.

Temuan di lapangan, ujar Joni, banyak pedagang yang ternyata tidak menjual rokok sesuai dengan harga yang tertera di kemasan. "Kebanyakan dari pedagang mengaku menjual harga rokok di bawah banderol berdasarkan harga agen," ujar dia mengungkapkan, Selasa (17/3).

Harga jual rokok di pasaran ternyata tidak setinggi yang diberitakan selama ini. Di sebuah toko di Jakarta Selatan, harga sebungkus rokok yang seharusnya dibanderol Rp 20 ribu, ternyata dijual Rp 14 ribu. Sementara di Jakarta Timur, ada rokok yang harga banderolnya seharusnya Rp 34 ribu, tetapi dijual hanya Rp 27 ribu.