REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Dua bom meledak di depan gedung Southern Border Provinces Administrative Center (SBPAC) di Provinsi Yala, Thailand, Selasa (17/3). Setidaknya 18 orang terluka dalam kejadian tersebut.
SBPAC merupakan badan Pemerintah Thailand yang mengawasi administrasi tiga provinsi berpenduduk mayoritas Muslim-Melayu di Narathiwat, Pattani, dan Yala. Sejak 2004, gerakan pemberontakan di wilayah tersebut telah menewaskan sekitar 7.000 orang.
Serangan bom terjadi saat SBPAC menggelar pertemuan untuk membahas tanggapan terhadap meningkatnya infeksi virus korona Covid-19 di negara tersebut. Menurut juru bicara regional militer Kolonel Pramote Prom-in, bom pertama meledak di luar pagar gedung SBPAC.
Dia menilai bom pertama merupakan pancingan agar orang-orang di geding SBPAC keluar. "Kemudian sebuah bom mobil sekitar 10 meter dari ledakan pertama meledak. Bom disembunyikan di sebuah truk pikap di mana para pelaku parkir di dekat pagar. Sebanyak 18 orang terluka dan tak ada yang tewas," kata Pramote Prom-in.
Dari semua korban luka, lima di antaranya adalah jurnalis dan petugas polisi, dua tentara serta para saksi. Belum ada pihak yang mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut.
Sejak 2004, daerah Yala telah mengalami ratusan serangan teror. Banyak di antara serangan tersebut mematikan dan menelan korban jiwa. Namun, seiring berjalannya waktu, intensitas dan jumlah serangan teror mengalami penurunan.
Thailand diketahui masih menghadapi pemberontakan terhadap peraturan Buddhis. Perlawanan itu telah berlangsung selama puluhan tahun di provinsi-provinsi selatan yang berpenduduk mayoritas Muslim.
Pemerintah Thailand telah mencoba untuk menghidupkan kembali pembicaraan dengan kelompok-kelompok yang melakukan perlawanan dan pemberontakan. Namun upaya ini belum menghasilkan efek atau dampak yang signifikan.