REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG – Para pemimpin keuangan dunia berusaha meningkatkan kepercayaan diri dengan sejumlah langkah darurat untuk ‘mengguyur’ uang tunai ke pasar yang sedang dilanda kepanikan, Kamis (19/3). Kebijakan ini dilakukan seiring dengan para investor yang tengah membuang aset, beralih ke dolar di tengah meningkatnya pandemi virus corona (Covid-19).
Pembuat kebijakan di Amerika Serika (AS), Eropa dan Asia telah memangkas suku bunga dan membuka keran likuiditas untuk menstabilkan ekonomi yang hampir koma. Di sisi lain, masyarakat sebagai konsumen pasar masih dikarantina, rantai pasok terputus, transportasi lumpuh dan toko-toko ritel terkuras.
Seperti dilansir di Reuters, Kamis (19/3), setidaknya ada hampir 219 ribu kasus Covid-19 telah dilaporkan secara global dengan 8.900 kasus kematian terkait virus. Lebih dari 20 ribu kasus dilaporkan dalam 24 jam terakhir, mencatat rekor harian baru.
Cina, tempat epidemi pertama kali dimulai pada Desember, mulai memberikan secercah harapan. Negeri Panda itu melaporkan nol transmisi virus lokal baru, meskipun kasus ‘impor’ (bukan tertular di Cina) melonjak.
Krisis ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi menyebabkan pembantaian di pasar saham. Sementara itu, setiap mata uang, kecuali euro dan safe haven yen, runtuh terhadap dolar.
Bank Sentral Eropa meluncurkan pembelian obligasi baru senilai 750 miliar euro (817 miliar dolar AS) pada pertemuan darurat Rabu (18/3) malam. Kebijakan ini dalam upaya Eropa mencegah ancaman resesi mendalam yang diperkirakan melebihi krisis keuangan global 2008-2009.
"Masa luar biasa saat ini membutuhkan tindakan luar biasa," ujar Presiden ECB Christine Lagarde.
Di AS, bank sentral Federal Reserve meluncurkan program kredit darurat ketiganya dalam dua hari. Langkah ini untuk menjaga industri reksa dana pasar uang senilai 3,8 triliun dolar AS apabila para investor ingin melakukan penarikan secara cepat.
Pada Ahad (15/3), The Fed memangkas suku bunga mendekati nol dan menjanjikan ratusan miliar dolar AS dalam pembelian aset. Sementara, pemerintahan Presiden AS Donald Trump mengumpulkan stimulus 1 triliun dolar AS dan sejumlah langkah dalam paket penyelamatan.
Inggris kini sedang bersiap-siap menutup London secara virtual atau memberhentikan sementara transportasi umum. Stasiun kereta bawah tanah di seluruh ibu kota ditutup. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mempertimbangkan beberapa langkah lebih signifikan untuk memperlambat penularan, termasuk menghentikan aktivitas sekolah pada Jumat (20/3).
Pound Inggris berada di level terendah terhadap dolar AS sejak 1985. Menanggapi hal ini, Gubernur Bank Inggris Andrew Bailey mengatakan, pihaknya tidak akan mengesampingkan apapun untuk mencetak uang demi kepentingan masyarakat Inggris.
Sementara itu, Australia melakukan kebijakan pelonggaran kuantitatif setelah pertemuan dadakan pada Kamis dan memangkas suku bunga untuk kedua kalinya dalam sebulan. Gubernur Bank Sentral Australia Philip Lowe mengatakan, tidak ada lagi yang perlu didiskusikan untuk membuat langkah tersebut. "Kami berada di masa yang luar biasa dan kami siap melakukan apa pun yang diperlukan," ujarnya.
Di sisi lain, Korea Selatan memperingatkan potensi krisis kredit global dan sedang menyiapkan dana krisis untuk menstabilkan pasar.
Bank-bank sentral di sejumlah negara berkembang, dari Brasil hingga India juga sudah membuat langkah pada pekan ini untuk membeli obligasi pemerintah. Langkah ini untuk mencegah lonjakan biaya pinjaman yang akan memberikan tekanan lebih pada ekonomi mereka.
Rangkaian pengumuman suntikan likuiditas dan stimulus dalam beberapa pekan terakhir ini merupakan hal yang tidak pernah terlihat sejak Perang Dunia Kedua.