Ahad 29 Mar 2020 16:56 WIB

Siti Munjiyah, Orator Ulung Didikan Kiai Dahlan

Di atas mimbar, ia menegaskan bahwa mengenakan jilbab merupakan perintah agama.

Rep: Rahmat Fajar/ Red: A.Syalaby
logo
Foto: tangkapan layar google
logo

REPUBLIKA.CO.ID, Organisasi perempuan yang memiliki akar sejarah panjang di Indonesia salah satunya adalah Aisyiyah. Organisasi ini merupakan badan otonom yang mewadahi perempuan Muhammadiyah.

Aisyiyah yang berdiri pada 19 Mei 1917 oleh Nyai Ahmad Dahlan di Yogyakarta ini telah banyak memberikan sumbangsih dalam perjalanan bangsa Indonesia melalui tokoh-tokohnya.

Siti Munjiyah di antara dari sekian perempuan Aisyiyah yang menjadi ikon dalam kemampuannya berorasi. Ia adalah adik dari tokoh Aisyiyah Siti Bariyah. Munjiyah lahir pada tahun 1896. Ayahnya bernama Hasyim Ismail yang menjabat sebagai lurah keraton Yogyakarta.

Pengalamannya hadir ke berbagai agenda penting bersama KH Ahmad Dahlan dan Haji Fachrodin membawa dampak besar kepada Munjiyah. Ia sering turun diajak dalam pertemuan-pertemuan tabligh baik atas undangan Sarekat Islam atau Muhammadiyah di berbagai daerah.

Perjalanan dan pertemuan-pertemuan yang dilaluinya  bersama KH Ahmad Dahlan dan Haji Fachrodin itu yang ikut membentuk mental Munjiyah menjadi orator ulung. Pernah pada suatu acara yang diadakan oleh Sarekat Islam di Kediri, Jawa Timur pada 20 November 1921 sebagaimana artikel di Suara Muhammadiyah, Munjiyah mendapatkan kesempatan berorasi.

Hal itu berawal dari dirinya yang mengenakan pakaian yang belum populer di kalangan umat Islam waktu itu. Mereka mengira pakaian yang dikenakan oleh Munjiyah adalah pakaian haji. Ketika mendapatkan kesempatan berorasi di atas mimbar, ia manfaatkan untuk menjelaskan pakaian yang dikenakannya.

Pakaian tersebut memang seperti pakaian ihram dan dikombinasikan dengan kerudung Aisyiyah yang populer pada waktu itu, khususnya di Yogyakarta. Di atas mimbar, ia menegaskan bahwa mengenakan jilbab merupakan perintah agama.

Tampilnya Munjiyah di atas mimbar dianggap sebagai langkah maju waktu itu. Pasalnya, tak semua perempuan memiliki keberanian dan kesempatan untuk bisa tampil berorasi di depan publik. Ini juga sebagai pesan Muhammadiyah bahwa perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki.

Munjiyah adalah murid langsung dari KH Ahmad Dahlan. Ketika Kiai Ahmad Dahlan dan Siti Walidah merintis forum kursus yang melahirkan perkumpulan Sapa Tresna pada 1914 anak-anak didiknya baik yang di sekolahkan di sekolah madrasah ataupun selain madrasah aktif diberbagai gerakan.

Murid-murid dari Kiai Ahmad Dahlan banyak yang menjadi tokoh nasional, salah satunya Siti Munjiyah. Salah satu ketokohannya dapat disaksikan dalam penyelenggaraan kongres perempuan pertama Indonesia, di Yogyakarta pada 1928.

Kongres ini digelar di pendopo Dalem Jayadipuran milik Raden Tumenggung Joyodipoero. Kongres ini dihadiri oleh perwakilan perkumpulan-perkumpulan dari PNI, Jong Java, PSI, Jong Madoera, Pemuda Indonesia, Jong Islamieten Bond, Walfadjri dan Boedi Oetomo. Kongres ini dihadiri sekitar 600 perempuan dari berbagai latar belakang.

Sementara organisasi perempuan yang hadir yakni Aisyiyah, Putri Indonesia, Wanita Utomo, Wanita Mulyo, Wanita Katolik, perempuan-perempuan Sarekat Islam, wanita Taman Siswa, Darmo Laksmi, perempuan-perempuan Jong Java dan Jong Islamietend Bond.

Di kongres yang berlangsung dari 22-25 Desember 1928 itu, Munjiyah duduk di posisi penting yaitu sebagai wakil ketua kongres mendampingi RA Soekonto sebagai ketua. Dipilihnya Munjiyah sebagai wakil ketua kongres bukan tanpa alasan. Ia dipilih karena latar belakang organisasinya yaitu Aisyiyah yang dinilai lebih berpengalaman menyelenggarakan kongres serta lebih maju dalam mendorong wacana emansipasi wanita dalam Islam.

Di arena kongres tersebut, Munjiyah menyampaikan pandangannya tentang derajat perempuan dalam Islam, khususnya tentang konsep istri Islam berkemajuan. Pidato yang disampaikan Munjiyah waktu itu sebagai respon atas gerakan feminisme liberal yang berkembang. Namun, rupayanya pidato Munjiyah mendapatkan banyak kritik dari peserta kongres dari perwakilan lain.

Kendati demikian, kehebatan Munjiyah dalam berorasi membuat ia mampu meredam berbagi kritik yang datang kepadanya. Ditambah dengan kehadiran anggota Siswo Proyo Wanita yang tak lain adalah kader Aisyiyah turut menyemangati Munjiyah.

Munjiyah terus berkomitmen untuk memajukan kaum perempuan di tanah Air. Kongres perempuan pertama itu kemudian ditetapkan sebagai hari ibu. Hasil kongres tersebut lalu menyepakati pembentukan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) yang kelak berubah menjadi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). 

sumber : Dialog Jumat
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement