REPUBLIKA.CO.ID, Ziarah kubur bagi masyarakat Indonesia merupakan hal yang lumrah, bahkan menjadi tradisi. Dalam beberapa kesempatan, seperti menjelang Hari Raya Idul Fitri, masyarakat berbondong- bondong ke makam.
Ziarah tidak hanya dilakukan laki-laki. Perempuan pun ikut meramaikan tempat pemakaman. Tawaran pahala yang besar sebesar dua qiradh dan keinginan untuk mendoakan kerabat yang telah meninggal menjadi alasan mereka menuju kuburan.
Meski hal ini lumrah di Indonesia, ziarah kubur tidak bisa dilakukan oleh perempuan di Arab Saudi. Muslimah hanya bisa berdiri di pagar atau pintu pemakaman dan tidak boleh masuk. Hal ini dilakukan tidak hanya saat ziarah, tapi juga saat pemakaman. Hukum ziarah kubur memang berbeda-beda menurut pandangan ulama. Ada ulama yang mutlak mengharamkan, ada juga yang makruh, mubah, atau haram dengan persyaratan.
Mazhab Hanbali menganggap ziarah hukum bagi Muslimah mutlak haram. Hal itu didasarkan pada Ibnu Abbas RA yang menyebut, "Rasulullah melaknat para wanita yang menziarahi kubur dan menjadikannya masjid dan memberikan penerangan di atasnya." Dalam HR Tirmidzi, Abu Hurairah juga berkata, "Rasulullah SAW melaknat perempuan peziarah kubur.
Pandangan yang memakruhkan seorang Muslimah berziarah kubur adalah dari mazhab Syafi'iyah. Hadis yang melarang perempuan berziarah kubur hukumnya sahih, begitu pula hadis dari Aisyah tentang pembolehan wanita berziarah kubur. Karena itu, mazhab Syafi'iyah menilai ziarah kubur boleh dilakukan Muslimah.
Ulama yang menilai tindakan ziarah kubur boleh bagi perempuan memaknai hadis berisi larangan ini keluar atas kemungkaran yang bisa saja dilakukan oleh perempuan ketika ziarah kubur. Larangan yang dikeluarkan bukan semata atas praktik ziarahnya.
Syekh Hasan Sulaiman an-Nuri dan Syekh Alawi Abbas al-Maliki dalam Ibanatul Ahkam menyebutkan, laknat adalah pengusiran dari rahmat Allah. Salah satu tanda besar tindakan yang dilaknat adalah konsekuensi rajam, had, atau ancaman keras dari pembuat syariat. Sementara, Rasulullah SAW melaknat perempuan peziarah kubur.
Ini menjadi dalil bagi ulama yang mengharamkan secara mutlak ziarah kubur bagi perempuan. Sementara, ulama yang membolehkannya memahami hadits ini sebagai keharaman atas perempuan yang melakukan kemungkaran saat berziarah seperti histeris menampar pipi, menyobek kantong pakaian, dan meratap karena kekurangan rasa sabar dan kebanyakan rasa sedih mereka.
Perangai Muslimah pada masa itu suka meratap dan mengeluarkan katakata yang tidak baik. Perempuan juga makhluk yang sangat mudah terpancing secara emosional. Apalagi menyaksikan keluarganya dimasukkan ke liang lahat, dikhawatirkan mereka akan meratap atau merusak kondisi psikologisnya. Hal ini yang diiharapkan tidak terjadi saat perempuan mendatangi kuburan.
Ibnu Buraidah berpendapat, Muslimah boleh melakukan ziarah makam. Larangan ziarah hanya ada di masa awal-awal keislaman, tujuannya untuk menjaga akidah dengan baik dan benar.
Selain suka meratap dan mengeluarkan kata-kata yang buruk, saat itu takhayul dan kurafat seputar kuburan juga masih banyak terdengar. Tidak sedikit masyarakat menyembah atau mengagung-agungkan kuburan. Ketika keimanan umat Islam dinilai telah kuat, larangan ini dihapus. Dalam HR Muslim, Rasulullah bersabda, "Aku dahulu pernah melarang kalian ziarah kubur, maka (sekarang) ziarahlah kalian."
Syekh al-Albani dalam Ahkamul Janaiz meyakini dan menyetujui pendapat yang menyatakan perempuan boleh berziarah kubur namun tidak terlalu sering.