Ahad 19 Apr 2020 18:32 WIB

ICW: Rata-Rata Vonis Koruptor Hanya 2 Tahun, 7 Bulan Penjara

Vonis yang dijatuhkan terhadap pengadilan tak memberi efek jera koruptor.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Teguh Firmansyah
Koruptor (ilustrasi)
Foto: Dok Republika.co.id
Koruptor (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat tren vonis pengadilan tindak pidana korupsi selama 2019 tidak memberikan efek jera yang nyata. Hal tersebut terlihat dengan rata-rata vonis koruptor sepanjang tahun tersebut hanya 2 tahun 7 bulan penjara.

"Tren vonis pengadilan tindak pidana korupsi sepanjang tahun 2019 belum menunjukkan keberpihakan sepenuhnya pada sektor pemberantasan korupsi,” kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana di Jakarta, Ahad (19/4).

Kurnia mengungkapkan, temuan ICW rata-rata vonis penjara untuk koruptor hanya menyentuh angka 2 tahun 7 bulan penjara saja. Sedangkan untuk denda sebesar Rp 116.483.500.000.

Rata-rata vonis mengalami kenaikan dibanding 2018 lalu yang hanya 2 tahun 5 bulan penjara. "Lalu untuk pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp 748.163.509.055. Angka tersebut akan sangat berbanding jauh jika melihat jumlah kerugian negara yang mencapai Rp 12.002.548.977.762,” rinci Kurnia.

Praktis, kata dia, kurang dari 10 persen nilai aset yang dapat dikembalikan ke kas negara. Sedangkan untuk tindak pidana suap sendiri yang mana jumlah perkaranya dominan sepanjang 2019 ditemukan setidaknya Rp 422.712.229.450.

Lebih lanjut Kurnia menuturkan, secara spesifik dari 1.125 terdakwa korupsi yang disidangkan, setidaknya 842 orang di antaranya diberikan vonis ringan dan hanya sembilan orang diganjar vonis berat. Padahal regulasi pemberantasan tindak pidana korupsi yang dijadikan dasar pemeriksaan di persidangan memungkinkan untuk menghukum terdakwa sampai pada 20 tahun penjara, bahkan seumur hidup.

Tak hanya itu, kejahatan korupsi telah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Ini mengartikan bahwa perlakuan negara terhadap pelaku korupsi tidak lagi bisa hanya dengan mengandalkan cara-cara konvensional atau hanya mengandalkan pada putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan.

"Sederhananya dapat dipahami bahwa jika putusan Pengadilan masih menghukum ringan pelaku korupsi maka sudah barang tentu pemberian efek jera tidak pernah akan terealisasi dengan baik,” tegas Kurnia.

Sepanjang 2019 ICW mencatat setidaknya terdapat 1.019 perkara tindak pidana korupsi yang disidangkan di berbagai tingkatan Pengadilan.

Dari keseluruhan perkara itu ditemukan 1.125 orang sebagai terdakwa. Temuan ini tidak terlalu berbeda dengan tahun sebelumnya yang mana total perkaranya sebanyak 1.053 dengan terdakwa sejumlah 1.162 orang.

Temuan tersebut, kata Kurnia, terbagi dalam tiga ranah pengadilan, yakni  941 perkara disidangkan di Pengadilan tingkat pertama, sedangkan 56 perkara tingkat banding, dan 22 perkara lainnya pada tingkat kasasi maupun peninjauan kembali di Mahkamah Agung.

Atas temuan tersebut,  ICW merekomendasikan Ketua MA untuk menyoroti secara khusus tren vonis yang masih ringan terhadap pelaku korupsi. Langkah untuk menyusun pedoman pemidaan amat mendesak untuk segera direalisasikan.

"Agar ke depan setiap hakim memiliki standar tertentu saat memutus perkara korupsi,” ujar Kurnia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement