REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof KH Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Dalam pandangan tasawuf, taawuz (A'udzubillahimin al-syaithan alrajim) lebih merupakan penyerahan diri total kepada Allah SWT ketimbang memohon perlindungan setan.
Alquran selalu mengingatkan kita agar setiap hendak membaca Alquran harus membaca taawuz, sebagaimana dinyatakan dalam ayat berikut: "Apabila kamu membaca Alquran, hendaklah kamu me minta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk." (QS al- A'raf [16]:98).
Dalam ayat lain dikatakan, "Dan katakanlah: Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan." (QS al- Mu'minun [23]:97).
Rasulullah SAW juga yang selalu didampingi Allah SWT dan para malaikatnya masih selalu mencontohkan kepada umatnya betapa pentingnya memohon perlindungan kepada Allah SWT, terutama terhadap daya tarik dan godaan setan.
Kita diingatkan untuk selalu membaca taawuz sebelum melakukan sesuatu. Di dalam tafsir isyari, taawuz dihubungkan dengan lima unsur pokok, yaitu hakikat permohonan perlindungan (al-isti'adzah), pemohon perlindungan (al-mus ta'idz), Sang Pemberi perlindungan (al-musta'adzubih), objek yang ke padanya dimohonkan perlindungan (al-musta'adzuminhu), dan tujuan mohon perlindungan (mayusta'ad zu lahu).
Kata a'udzu berasal dari kata, pertama, 'adza-ya'udzu memiliki dua arti, yaitu kembali ke… (al-ilja') dan berlindung kepada… (al-istijarah). Keduanya berarti memohon perlindungan. Kedua, berarti melekat (al-iltishaq). Yang pertama, kata a'udzu berarti "Aku berlindung dengan rahmat dan penjagaan Allah" dan yang kedua berarti "Aku lekatkan diriku dengan karunia dan rahmat Allah".
Kata al-syaithan mempunyai dua arti. Pertama, jauh (al-bu'd). Setiap makhluk, baik manusia, jin, maupun hewan menyimpang atau menjauh dari kebenaran, dapat disebut setan karena menyimpang dan jauh dari petunjuk dan kebenaran. Kedua, batil (syatha). Segala sesuatu yang menyimpang disebut batil karena prilakunya yang merusak kemaslahatan umum. Yang demikian dapat juga disebut setan.
Kata al-rajim berarti al-marjum, yakni yang terkutuk sebagaimana dalam ayat: "Berkata bapaknya: Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama." (QS Maryam [19]:46). Dari segi ini dipahami setiap makhluk yang membangkang dan menyimpang layak disebut setan.
Ta'awwudz atau isti'adzah bisa tercapai jika tiga hal terpenuhi pada diri seseorang, yaitu ilmu, kondisi batin, dan perbuatan nyata. Yang dimaksud ilmu adalah seseorang mengetahui dan sadar bahwa dirinya tak mampu menolak kemalangan atau mendatangkan kesenangan, dan hanya Allah SWT yang Mahaberkuasa mewujudkan dua hal tersebut.
Jika seseorang memiliki kesadaran akan hal tersebut ma ka akan terbentuk kondisi batin yang positif dalam dirinya, yaitu sikap rendah hati dan menyadari kelemahan dirinya.
Dengan didasari kesadaran batin semacam itu maka dalam prilakunya dia akan selalu tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Begitu juga dengan hati dan lisannya.
Hatinya akan selalu mengarahkannya kembali kepada Allah dan senantiasa memohon perlindungan kepa da-Nya dari segala cobaan, sembari berharap karunia dan kebaikan-kebaikan dari-Nya.
Sementara lisannya akan terus menyuarakan permohonan-permohonan tersebut, mengungkapkan semua yang terbetik dalam hatinya. Dalam kondisi seperti inilah isti'adzah betul-betul mendapatkan makna hakikinya, yaitu A'udzubillah (Aku berlindung kepada Allah).