REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nabi Muhammad SAW bersabda, sebagaimana diriwayatkan Aisyah RA: "Tidak henti-hentinya Jibril memberikan wasiat kepadaku tentang tetangga sehingga aku mengira bahwa Jibril menetapkan hak waris bagi tetangga."
Definisi tetangga dalam hadis di atas tak hanya mencakup yang seiman, melainkan juga berbeda keyakinan.
Dalam hadis yang cukup panjang, Nabi SAW menguraikan hak-hak tetangga atas diri seorang Muslim.
"Apakah kalian tahu hak tetangga? Jika tetanggamu meminta bantuan kepadamu, engkau harus menolongnya.
Jika dia meminta pinjaman, engkau meminjaminya. Jika dia fakir, engkau memberikan (bantuan) kepadanya.
Jika dia sakit, maka engkau menjenguknya. Jika dia meninggal, maka engkau mengantar jenazahnya.
Jika dia mendapat kebaikan, engkau menyampaikan selamat untuknya. Jika dia ditimpa kesulitan, engkau menghiburnya.
Janganlah engkau meninggikan bangunanmu di atas bangunannya, hingga engkau menghalangi angin yang menghembus untuk (rumah) ia, kecuali atas izinnya.
Jika engkau membeli buah, hadiahkanlah sebagian untuknya. Jika tidak melakukannya, maka simpanlah buah itu secara sembunyi-sembunyi.
Janganlah anakmu membawa buah itu agar anaknya menjadi marah. Janganlah engkau menyakitinya dengan suara wajanmu kecuali engkau menciduk sebagian isi wajan itu untuknya.
Apakah kalian tahu hak tetangga? Demi Zat yang menggenggam jiwaku, tidaklah hak tetangga sampai kecuali sedikit dari orang yang dirahmati Allah" (HR At-Thabarani).
Apa saja batasan tetangga? Ini bisa kita temukan dari kisah berikut, sebagaimana diriwayatkan az-Zuhri.
Suatu hari, seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW untuk mengadukan perangai tetangganya. Lantas, Rasulullah SAW memerintahkan lelaki itu untuk berseru di depan masjid--menghadap khalayak di jalan.
"Ingatlah wahai manusia, 40 rumah itu masih tetanggamu!"
Az-Zuhri menjelaskan maknanya. "Maksudnya, 40 rumah ke arah sana, 40 rumah ke arah sana, 40 rumah ke arah sana, dan 40 rumah ke arah sana,” sabda Rasulullah sambil menunjuk ke empat arah mata angin.