REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pemerintah, dan pengusaha diminta untuk lebih peka terhadap nasib kalangan buruh dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja demi menjaga kondusivitas di tengah mewabahnya Covid-19. Di sisi lain, buruh juga diharapkan untuk menahan diri dengan tidak melakukan aksi turun ke jalan.
"Boleh jadi, rencana aksi yang akan digelar kalangan buruh karena terprovokasi oleh sikap DPR yang masih memaksakan membahas RUU Omnibus Law Cipta Kerja di tengah bangsa ini berjibaku melawan pandemi Covid-19," tutur Direktur Eksekutif Indonesian Publik Institute, Karyono Wibowo, melalui keterangannya, Ahad (19/4).
Menurutnya, RUU Omnibus Law Cipta Kerja masih menjadi kontroversi. Pembahasan yang dilakukan di tengah pandemi Covid-19 tentu akan memancing para organisasi buruh untuk bereaksi. Padahal, sebelumnya salah satu organisasi buruh sempat membatalkan rencana aksi turun ke jalan sebelum merencanakan akan turun aksi kembali.
"Karena itu, untuk menjaga kondusivitas, maka DPR, pemerintah, dan pengusaha dituntut agar lebih peka terhadap nasib kalangan buruh. Di mana saat ini mereka terancam PHK, ribuan buruh telah dirumahkan sementara mereka tengah berjibaku melawan ancaman corona dan berjuang untuk mempertahankan hidup," tuturnya.
Di samping itu, katanya, di dalam situasi duka yang tengah melanda bangsa ini, dibutuhkan pula kearifan organisasi buruh untuk menahan diri sebentar dengan tidak melakukan aksi turun ke jalan. Menurutnya, situasi saat ini membuat tantangan bagi organisasi buruh untuk mencari alternatif dalam menyampaikan aspirasi tanpa mengurangi substansi.
"Kreativitas organisasi buruh dalam menyampaikan aspirasi merupakan keniscayaan. Apalagi dalam situasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang telah diberlakukan di DKI Jakarta dan sejumlah daerah mengharuskan masyarakat melakukan physical distancing," kata dia.
Menurut dia, jika organisasi buruh masih menggunakan pola dan paradigma konvensional, dengan aksi unjuk rasa turun ke jalan, maka hal itu akan sangat rawan terjadi penyebaran virus Covid-19. Itu berpotensi menambah mata rantai virus Covid-19 meskipun aksi tersebut akan tetap mengikuti aturan pembatasan fisik.
Dia memprediksi, hal itu sulit untuk dipraktikkan secara disiplin, apalagi dalam jumlah massa yang besar. Belum lagi, adanya potensi benturan antara pihak pengunjuk rasa dengan pihak aparat keamanan sangat mungkin terjadi.
"Hal ini bisa berpotensi menimbulkan kerusuhan yang lebih luas di tengah frustasi sosial akibat wabah Covid-19. Dalam situasi pandemi global saat ini dibutuhkan kearifan dan semangat gotong-royong dari semua pihak untuk menjaga stabilitas nasional," ujar dia.