REPUBLIKA.CO.ID, NAIROBI -- Dampak virus corona mulai mempengaruhi pendapatan pemain, pelatih, klub, dan federasi. Dampak itu mulai dirasakan benua Afrika.
"Sepakbola adalah kehidupan. Jika Sepakbola terhenti, maka sama saja kehidupan berhenti," demikian curhatan David Juma, kapten Kakamega Homeboy, salah satu klub di Kenya, dikutip dari BBC, Rabu (22/4).
Khusus di Afrika, sepakbola adalah olahraga terpopuler. Liga Primer Kenya termasuk liga domestik kelas atas, di Afrika Timur. Tapi sekitar 50 persen pemainnya, memperoleh gaji bulanan rata-rata 200 dolar. Itu membuat sebagian besar pemain, bergantung pada bonus pertandingan, tunjangan perjalanan, dan bonus kemenangan.
"Tanpa adanya pertandingan, semua bonus tersebut tidak bisa diamankan," demikian laporan yang dikutip dari BBC.
Ada juga para pemain di KPL (Liga Primer Kenya) yang tidak mendapat gaji bulanan dari klub secara langsung. Mereka menghasilkan uang dengan bekerja di perusahaan yang dimiliki klub tersebut. Dalam masa pandemi ini, sebagian besar perusahaan sedang berjuang menghadapi krisis finansial.
"Kami diberitahu bahwa kami akan mendapat pemotongan gaji 50 persen. Bos kami juga pebisnis, dan karena corona, berbagai usaha tidak berjalan baik," tutur Juma.
Kisah nyaris serupa terjadi di belahan Afrika lainnya. Pemain Coton Sport salah satu klub di Liga Kamerun, Thomas Bawak, mengakui situasi pelik bakal dialami mereka.
"Kami tetap memiliki gaji, tapi saya pikir bulan depan, jumlah gajinya tidak akan sama," ujar Bawak.
Kondisi demikian berdampak kemana-mana. Ada kecemasan dari para pemain. Mereka memikirkan cara terbaik untuk memberi penghidupan pada keluarga.
Klub di Afrika Selatan dan Afrika Utara biasanya membayar gaji pemain jauh lebih tinggi dari daerah lainnya di seluruh benua tersebut. Tapi saat ini mereka menghadapi kesulitan yang sama.
Di Mesir, klub top seperti El Gouna, Nadi al-Mokawloon al-Arab al-Riyadi, dan Pyramids FC mengumumkan pemotongan gaji pemain. Begitupun dengan Smouha SC yang memotong upah pelatihnya hingga 50 persen.
Kementerian Olahraga Mesir meminta para elit membantu finansial tim-tim di divisi bawah. Al Ahly masuk dalam kategori elit. Belakangan Al Ahly juga memulai pemotongan gaji pemainnya. Mereka juga kehilangan pendapatan karena kurangnya pertandingan, kendati menembus semifinal Liga Champions Afrika.
Pesepakbola wanita di Afrika juga terdampak. Rata-rata penghasilan para srikandi tersebut, sekitar 100 dolar sebulan. "Sehingga umumnya mereka terdaftar di pendidikan tinggi, dan memiliki pekerjaan sampingan, hanya untuk bertahan hidup," tambah laporan dari BBC.
Badan Sepakbola Dunia (FIFA) telah mengumumkan dana bantuan darurat. Dana tersebut diberikan untuk menunjung operasional anggotanya. Dalam hal ini mengatasi masalah keuangan si penerima bantuan secara langsung.
Beberapa asosiasi sepakbola Afrika telah mengambil keuntungan dari hal ini. Di Sierra Leone misalnya. Asosiasi setempat menyumbang 67.500 dolar kepada klub Liga Primer, Divisi Satu, Divisi Dua. Itu sebagai bentuk solidaritas selama badai corona.
Mesir dan Afrika Selatan mengambil inisiatif pengumpulan dana. Nyaris seluruh benua Afrika bergerak mencari solusi bersama.
Liberia memberikan 4200 dolar kepada klub di divisi pria dan wanita. FA Uganda, menyumbangkan 12,5 ton beras untuk para pemain, pejabat, dan penggemar sepakbola.
Apa yang terlihat, corona memberikan kesulitan secara ekonomi. Tapi di titik yang sama, faktor keselamatan dan kesehatan prioritas utama. Tanpa rencana cadangan, krisis di Afrika akibat bencana ini bakal berlangsung lama. Sebab pandemi covid-19 membuat pintu stadion tertutup hingga batas waktu yang tak bisa ditentukan.