REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Korting hukuman penjara terhadap terpidana Romahurmuziy dinilai mencederai upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air. Mantan ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki menegaskan, tak semestinya pengadilan memotong masa hukuman terhadap mantan ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menjadi hanya satu tahun.
Suparman mengatakan, pemangkasan hukuman itu juga melukai rasa adil bagi masyarakat. Suparman menolak untuk berdebat tentang defenisi adil bagi publik.
Namun, dalam perspektif pemberantasan korupsi, dia mengatakan, semestinya hakim punya komitmen menjaga jarak diri melalui putusan yang berpihak untuk menjerakan pelaku korupsi. “Gak usah pura-pura pilon lah. Kita tahu rasa keadilan bagi masyarakat itu yang mana,” kata Suparman dalam diskusi nirkabel tentang ‘Menakar Problematika Lembaga Peradilan dan Strategi di Masa Mendatang’, Ahad (26/4).
Menurut pengajar hukum di Universitas Islam Indonesia (UII) itu, masyarakat juga berhak mendengarkan hukuman yang setimpal bagi pelaku korupsi yang sudah terbukti di pengadilan. “Karena keadilan itu bukan hanya milik orang yang sedang diadili, tetapi publik juga berhak mendapatkan kepuasan dalam keadilan,” kata dia.
Dalam korupsi yang mengurat akar di Indonesia, ia mengatakan, masyarakat patut kecewa dengan setiap vonis ringan yang ditimpakan kepada pelaku korupsi. “Karena masyrakat juga bagian dari kepentingan membangun bangsa yang tidak korup,” ujar dia.
Pada Jumat (24/4), Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memutuskan mengurangi masa penjara terhadap Romahurmuziy menjadi hanya satu tahun. Putusan pengadilan tingkat dua itu setelah Romi, sapaan akrab Romahurmuziy, mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri (PN) Tipikor 2020 yang menghukumnya selama dua tahun karena terbukti bersalah melakukan korupsi dalam jual beli jabatan di Kementerian Agama (Kemenag) 2019 .
Vonis PN Jakarta dua tahun penjara itu pun sebetulnya lebih ringan daripada tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta majelis hakim menghukumnya selama empat tahun penjara. Karena itu, KPK mengajukan banding atas putusan tersebut. Sementara itu, Romi pun menyatakan melawan putusan PN dengan mengajukan banding serupa ke PT Jakarta.
Peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana dalam diskusi yang sama mengatakan, pengurangan hukuman terhadap Romi menambah catatan buruk pengadilan dalam masalah pemberantasan korupsi di Indonesia. “Pengurangan vonis terhadap Romi ini lagi-lagi menjadi pertunjukan ketidakberpihakan hakim di pengadilan di sektor pemberantasan korupsi,” kata Kurnia.
Kurnia pun setuju dengan pandangan hilangnya rasa keadilan bagi masyarakat dalam vonis Romi. Bukan hanya terhadap putusan PT, menurut dia, sejak PN memberikan putusan cuma dua tahun penjara terhadap Romi, ICW melihat vonsi tersebut jauh dari harapan publik. Kurnia membandingkan contoh kasus pemerasan seorang kepala desa di Bekasi, Jawa Barat (Jabar), yang dihukum empat tahun penjara.
ICW pun mencatat, sepanjang 2019 memang terjadi tren vonis ringan bagi terpidana korupsi. Kurnia mengatakan, dari 1.019 perkara korupsi yang masuk ke persidangan sepanjang 2019, rata-rata mendapatkan hukuman 2,7 tahun penjara.
Vonis-vonis ringan tersebut menjauhkan harapan publik terhadap pengadilan, yang menghendaki adanya hukuman setimpal bagi koruptor. “Vonis ringan terhadap terpidana korupsi ini menjadi salah satu masalah di pengadilan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi,” kata Kurnia menambahkan.