REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) sangat tidak menggembirakan. Salah satunya disebabkan kegiatan ekspor dan impor yang terganggu akibat Covid-19.
"Order ekspor garmen banyak di-cancel. Order dalam negeri juga karena Tanah Abang ditutup. Market kita habis, baik ekspor maupun domestik," ujar Ketua Umum API Jemmy Kartiwa Sastraatmaja dalam rapat virtual bersama Komisi VI DPR di Jakarta, Senin (27/4).
Kondisi tersebut, menurut dia, menyebabkan beberapa anggota API terpaksa menutup industrinya. API mencatat, pada pekan kedua bulan ini sudah 80 persen tenaga kerja sektor TPT yang dirumahkan.
"Kami melakukan pendataan setiap minggu. Saat ini utilisasi di bawah 20 persen menuju lima persen. Angka tersebut sudah mencapai titik nadir karena menuju nol persen," kata Jemmy.
Cash flow industri TPT, dia melanjutkan, juga terganggu. Pasalnya, pembayaran dari ekspor maupun domestik tidak mengalir.
"Dari departement store misal harusnya dibayar Maret, tapi diundur jadi April. Tapi, sekarang April juga enggak kunjung dibayar, postponed lagi sampai Mei. Kalau cash flow enggak dibayar retailer bagaimana kita bisa bayar (operasional)," tuturnya.
Karena itu, supaya industri TPT bisa terjaga dan bangkit lagi, API mengusulkan sejumlah relaksasi kepada pemerintah. "Misalnya PLN, kita mohon saat Covid-19 kita dibebaskan dari biaya jam nyala karena ini membantu sekali dan jumlahnya tidak sedikit. Kelonggaran bayar listrik ini perlu. Kalau kita sudah bangkit lagi dan budaya bayar tagihan, kita bisa bayar," kata Jemmy.
Ia pun meminta agar industri TPT diberi kelonggaran pajak setidaknya 90 hari. Relaksasi lainnya yang diusulkan terkait kebijakan perbankan.
"Poin penting masalah perbankan, yang katanya kita dunia usaha bisa dapat jadwal pencicilan, tapi nyatanya enggak bisa dapat penjadwalan utang," ujarnya.