Jumat 01 May 2020 12:20 WIB

May Day, Pantaskah Buruh Minta Kenaikan Upah Saat Pandemi?

Pemerintah diminta serius mencegah agar tidak terjadi PHK.

Rep: Ali Mansur/ Red: Karta Raharja Ucu
Aksi buruh.
Foto: Republika/Dadang Kurnia
Aksi buruh.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Biasanya Hari Buruh atau Mayday yang selalu diperingati setiap tanggal 1 Mei kerap disambut dengan melakukan beragam aksi dari kaum buruh. Termasuk mengajukan tuntutan pembaharuan sistem, mulai dari hukum perlindungan pekerja sampai kenaikan upah. Namun peringatan Hari Buruh tahun ini terasa berbeda, karena banyak perusahaan yang terancam gulung tingkat dampak dari pandemi Covid-19.

Bahkan, setidaknya berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) per 20 April 2020 lalu, terdapat 2.084.593 pekerja dari 116.370 perusahaan dirumahkan dan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat terimbas pandemi wabah virus asal Wuhan, China tersebut. Tidak hanya itu, banyak pengusaha terpukul serta sektor industri terancam gulung tikar. Sehingga hal ini memunculkan pertanyaan apakah masih pantas jika pekerja tetap menuntut kenaikan upah di tengah-tengah ancaman krisis.

Baca Juga

Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Kahar S. Cahyono menegaskan dalam regulasinya memang setiap tahun harus ada kenaikan. Sebab upah buruh berdasarkan dengan daya beli. Artinya jika tidak ada kenaikan maka buruh tidak lagi memiliki daya beli. Karena upah yang diterima tidak bisa lagi mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya.

"Kalau kita mengacu di tahun-tahun sebelumnya. Setiap ada inflasi atau setiap kali ada kenaikan harga-harga, nanti terkoreksi ketika ada kenaikannya. Apalagi beberapa tahun terkahir pemerintah selalu menggunakan pertumbuhan ekonomi atau inflasi untuk kenaikan upah," tegas Kahar, saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (29/4).

Sehingga, lanjut Kahar, dalam situasi seperti ini pun upah harus dinaikkan. Misalnya pada 1998, saat krisis terjadi dan inflasi naik drastis tapi upah tetap naik, bahkan bisa dua kali lipat. Pihaknya menegaskan tidak ada alasan jika tahun upah tidak dinaikkan. Tidak kalah penting, Kahar mewanti-wanti jangan sampai ada perusahan nakal yang memanfaatkan situasi seperti ini untuk tidak memenuhi hak-hak pekerja.

Dalam situasi sulit ini, menurut Kahar, ada beberapa harapan yang ingin disampaikan dan sudah beberapa kali disuarakan oleh kaum buruh. Di antaranya, pemerintah harus bersungguh-sungguh dengan segala upaya mencegah agar tidak terjadi PHK. Jadi harus ada ketegasan dari pemerintah, misalnya dengan menerbitkan peraturan agar para perusahaan tidak gampang melakukan PHK. Meskipun pemerintah dan Kemenaker sudah memberikan imbauan.

"Tapi menurut hemat kami, tidak cukup jika hanya dengan imbauan, atau surat edaran saja. Harus dengan ketentuan yang lebih mengikat misalnya dengan peraturan atau apa saja yang lebih tegas," pinta Kahar.

Kemudian terkait masa sulit, Kahar mengakui pengusaha mengalami kesulitan tapi pekerja juga dalam posisi yang sama. Namun yang diperlu diketahui, menurutnya, pemerintah sudah banyak memeberikan stimulus serta ada banyak kemudahan yang diberikan kepada pengusaha, seperti dari sisi impor dan juga pajak. Karena itu, kaum buruh meminta agar jangan lagi mereka dikorbankan.

Selanjutnya,  sesuai dengan Undang-undang 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, jika perusahaan ingin melakukan PHK karena alasan rugi maka harus diaudit terlebih dahulu keuangannya selama dua tahun terakhir. Hal itu dilakukan untuk melihat apakah memang perusahan tersebut benar-benar merugi atau sekedar mencari-cari alasan saja untuk melakukan PHK.

"Juga untuk melihat masih ada cadangan gak? Karena biasanya perusahan juga bisa survive sekian lama tanpa keuntungan, maka untuk melihat itu memang harus diaudit bukan hanya ngomong saya lagi sulit," tutur Kahar.

Sementara itu, Muchamad Nabil Haroen sebagai Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengakui krisis akibat Covid-19 sudah di depan mata dan semua negara terkena imbasnya. Termasuk Indonesia, mengalami tantangan hebat, dalam skala ekonomi makro dan mikro. Tetapi, ketangguhan rakyat dalam berjuang di sektor UMKM dan usaha-usaha kecil, bisa menjadi penopang untuk tetap melaju, dan bangkit di masa depan.

Apalagi, lanjut Nabil, Pemerintah telah bekerja keras, mengusahakan yang terbaik untuk rakyat. Paket-paket bantuan terus diupayakan, dengan menggunakan perangkat dan anggaran yang ada. Paket bantuan itu untuk menopang kelanjutan sektor industri, sekaligus mendukung ketahanan pangan rakyat.

"Aggaran Rp 405,1 triliun telah disiapkan, untuk menangani covid-19," tegas politikus PDI Perjuangan tersebut saat dihubungi.

Kemudian dalam situasi seperti ini, menurut Nabil, pengusaha dan karyawan harus melakukan kompromi. Pengusaha bisa melakukan efisensi, tapi usahakan jangan sampai memecat karyawan. Karena memang harus ada penyesuaian-penyesuaian.

Sementara, karyawan harus bekerja efektif, tingkatkan skill, disiplin, dan efisien dalam pengeluaran. Sebab, Indonesia akan bertarung melawan krisis dalam jangka waktu tidak sebentar, tapi mungkin beberapa tahun.

"Beberapa lembaga riset di Eropa sudah memprediksi bagaimana pentingnya bertahan dengan membeli bahan-bahan pokok saja, sembari bertahan dengan terus bekerja, serta mencari kesempatan dengan usaha tambahan," terang Ketua Umum Pimpinan Pusat Pagar Nusa Nadhlatul Ulama tersebut.

Menghadapi masa krisis akibat covid-19, Pemerintah Indonesia telah mengguyur berbagai macam stimulus kepada dunia usaha. Fasilitas itu diberikan pemerintah agar perusahan dapat sekuat tenaga untuk mencegah tidak dilakukan PHK, terhadap pekerja atau buruh. Dari sisi sosial masyarakat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencoba melancarkan stimulus/kebijakan-kebijakan untuk bisa mengurangi dampak syok covid-19 yang sangat besar ini.

“Untuk masyarakat, tentu tidak bisa seluruhnya shock di absorb oleh APBN. Namun APBN berusaha untuk bisa mendukung ketahanan sosial masyarakat. Dari sisi sosial ekonomi APBN mencoba untuk memberikan dukungan agar shock itu tidak merusak atau dalam hal ini menyebabkan kebangkrutan yang sifatnya masif," ungkap Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani dalam siaran persnya beberapa waktu lalu.

Selanjutnya, Pemerintah juga telah memberikan insentif pajak kepada 19 sektor manufaktur atau pengolahan yang dianggap paling terdampak covid-19 melalui PMK Nomor 23/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona. Dalam PMK Nomor 23/PMK.03/2020, kesembilanbelas sektor industri tersebut diberikan insentif berupa pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) PPh Pasal 21 karyawannya yang berpenghasilan paling tinggi Rp 200 juta pertahun, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, diskon 30 persen untuk angsuran bulanan PPh pasal 25, restitusi dipercepat dengan treshold yang naik dari Rp 1 miliar ke Rp 5 miliar.

Selain itu, pemerintah juga sedang memfinalkan industri lain yang juga terdampak covid-19 agar diberi insentif yang sama. Sebanyak 19 sektor pengolahan diberikan insentif berupa PPh Pasal 21 karyawannya ditanggung pemerintah, PPh Pasal 22 Impor dibebaskan, setoran bulanan angsuran PPh pasal 25 diberi diskon 30 persen, restitusi dipercepat dengan treshold dinaikkan dari Rp 1 miliar ke Rp 5 miliar.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement