REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbagai ramalan atau prediksi tentang puncak maupun berakhirnya pandemi Covid-19 di Indonesia menunjukkan perbedaan cukup signifikan antara satu dan yang lain. Kondisi ini dinilai terjadi karena basis data yang digunakan untuk melakukan pemodelan tidak merepresentasikan kondisi riil di lapangan.
"Pemodelan untuk memprediksi Covid-19 di Indonesia sekarang susah sekali, karena data yang dilaporkan pemerintah setiap hari itu patut diduga tidak mencerminkan fakta sesungguhnya," kata CEO Alvara Research Center, Hasanuddin Ali, kepada Republika, Rabu (6/5).
Indonesia mencatatkan angka tertinggi dalam hal tambahan kasus baru Covid-19 sejak kasus ini diumumkan pertama kali pada awal Maret lalu. Pada Selasa (5/5), pemerintah mengumumkan terjadi penambahan pasien terkonfirmasi positif sebanyak 484 orang dalam 24 jam terakhir. Sementara pada Rabu (6/5), penambahan pasien positif sebanyak 367 kasus.
Padahal, penambahan kasus positif Covid-19 dari awal Mei pada Jumat (1/5) secara berangsur-angsur melambat hingga Senin (4/5). Pada Jumat tercatat jumlah kasus sebesar 4.283 kasus menjadi 4.355 kasus pada Sabtu (2/5) kenaikan kasus tercatat 72 kasus. Angka-angka itu menunjukkan adanya fluktuasi. Artinya, belum bisa dikatakan sudah terjadi penurunan atau telah melwati puncak.
Menurut Hasan, ada beberapa argumentasi bahwa data yang dirilis tidak menunjukkan fakta sebenarnya. Pertama, minimnya orang yang di tes polymerase chain reaction (PCR). Dari data di worldometers.info/coronavirus, Indonesia tercatat melakukan tes PCR sebanyak 365 per 1 juta penduduk. Sementara Malaysia mencapai 5.692 per 1 juta penduduk, atau Filipina 1.050 per 1 juta penduduk dan India sebanyak 708 per 1 juta penduduk.
Kedua, lanjut Hasan, pergerakan data harian Covid-19, terutama data di level provinsi, variasinya terlalu tinggi, kadang naik tajam dan kadang terjun bebas. Namun, ada beberapa provinsi yang cukup bagus. "Seperti Jakarta dan Bali," ujar Hasan.
Hasan melanjutkan, ketiga adalah adanya kelemahan manajemen data dalam penanganan Covid-19. Pemerintah dinilai perlu membuka data secara transparan dan akuntabel. Dia menyebut, seandainya pemerintah lebih terbuka terkait arus data dari daerah ke pusat, maka sumber kemacetan data akan diketahui.
"Apakah karena sistem informasinya atau masalah kedisiplinan pegawai Kemenkes di semua level yang rendah dalam meng-update data," kata Hasan.
Menurut dia, prediksi selalu berpijak kepada pola data masa lalu ditambah dengan beberapa indikator dan asumsi yang bisa dipertanggungjawabkan. Semakin jelas pola datanya, maka akan menghasilkan prediksi yang semakin solid dengan tingkat kesalahan yang kecil.
Melihat data yang ada sekarang, Hasan yakin, semua pemodelan yang dilakukan di Indonesia memiliki tingkat kesalahan yang tinggi apalagi kalau rentang waktu peramalannya semakin lebar. Pada level nasional, kata dia, Alvara membatasi hanya memprediksi sampai tujuh hari ke depan, dan hanya beberapa provinsi yang durasi waktu prediksinya lebih panjang hingga estimasi wabah Covid-19 berakhir.
"Lalu bagaimana kita bisa membantu pemerintah terkait manajemen data ini, saya mengusulkan adanya audit data Covid-19, terutama terkait supply chain data dari daerah ke pusat, dan infrastruktur data lainnya. Atau kenapa Kemenkes bisa tidak menduplikasi atau memodifikasi sistem IT KPU yang sudah teruji saat pemilu," ujar alumnus ITS Surabaya ini.
Dia menambahkan, kecepatan mengatasi wabah Covid-19 sangat tergantung kepada kecepatan dan ketepatan data yang ada. Pengalaman dari negara-negara lain semuanya menunjukkan hal yang sama.