REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Ledakan bom mengguncang Tripoli pada Ahad (10/5). Peristiwa itu membuat pasokan air di ibu kota Libya terganggu dan warga sipil menjadi korban.
"Ayah saya mengatakan bahwa kita harus siap untuk pergi kapan saja...pertempuran semalam lebih berat daripada waktu sebelumnya," kata seorang warga distrik Abu Salim, dekat garis depan.
Pasokan air di Tripoli sudah mulai menurun pada Ahad sore setelah Proyek Sungai Great Man-Made yang merupakan pasukan air utama terganggu. Petugas mengatakan, salah satu pembangkit listrik di selatan telah diserbu oleh orang-orang bersenjata.
Libyan National Army (LNA) yang dipimpin oposisi Khalifa Haftar berusaha untuk merebut Tripoli selama 13 bulan. Hanya saja, bantuan militer Turki tahun ini kepada Government of National Accord (GNA) yang diakui secara internasional membantu mendapatkan kembali kekuatan untuk bertahan.
LNA yang didukung oleh Uni Emirate Arab, Mesir, dan Rusia, pekan lalu mengumumkan serangan udara baru. Kelompok itu melakukan pengeboman dengan artileri untuk mendapatkan ibu kota.
Bulan lalu pasukan pro-GNA merebut kembali serangkaian kota di barat laut dari LNA, membangun kembali kendali mereka antara Tripoli dan perbatasan Tunisia. Mereka juga telah melakukan dua upaya untuk merebut pangkalan udara strategis al-Watiya LNA, tetapi tertahan dan telah bergerak ke arah benteng utama LNA di Tarhouna di barat laut.
Sumber militer LNA mengatakan, pertempuran Sabtu (9/5) malam adalah yang paling sengit sejauh ini. Pasukan Timur milik Haftar mengambil beberapa tempat di Abu Salim.
Penduduk Tripoli menggambarkan pengeboman itu sebagai yang terburuk sejauh ini setelah berminggu-minggu pertempuran. Mitiga, satu-satunya bandara yang berfungsi di ibukota Libya, menjadi sasaran roket untuk hari kedua setelah penembakan pada Sabtu. Peristiwa itu menghancurkan tangki bahan bakar dan menyebarkan pecahan peluru di jet penumpang yang siap untuk lepas landas.
Misi Libya mengecam serangan sembarangan yang dituding sebagian besar disebabkan oleh pasukan pro-LNA. Bulan lalu, LNA bertanggung jawab atas empat perlima kematian warga sipil pada kuartal pertama 2020. Turki mengatakan akan menganggap pasukan Haftar sebagai target yang sah jika serangan berlanjut.