REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktortat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) menyebut kebijakan pembebasan narapidana melalui asimilasi dan integrasi, memberikan dampak signifikan bagi kelebihan kapasitas yang terjadi di lembaga permasyarakatan (lapas). Kebijakan tersebut menurunkan persentasi overcrowding dengan selisih hampir 15 persen.
"Tingkat overcrowding di Lapas/rutan LPKA menurun yang semula 270.466 (Maret 2020) atau 106 persen menjadi 231.609 atau overcrowding 75 persen," ujar Direktur Jenderal Pemasyarakatan Reinhard Silitonga dalam rapat yang digelar bersama Komisi III DPR RI, Senin (11/5).
Pada tahun 2019, terdapat 259.062 penghuni lapas yang terdiri dari 64.476 tahanan dan 194.586 narapidana. Sementara kapasitas Lapas hanya sebanyak 130.446. Terjadi overcrowding hampir 100 persen. Sementara pada 2020, hingga Mei, terdapat 231.609 penghuni lapas yang terdiri dari 55.947 tahanan, dan 175.662 narapidana. Adapun kapasitas lapasnya sebanyak 132.104. Sehingga overcrowding yang terjadi 75 persen.
Pembebasan lapas ini berasal dari kebijakan pembebasan penghuni yang merujuk pada Peraturan Menkumham nomor 10 tahun 2028 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Reinhard mengklaim, kebijakan ini juga berdampak dalam penekanan penularan Covid-19 di lingkungan Lapas.
"Sampai saat ini yang terkonfirmasi positif Covid-19 di Lapas/Rutan/LPKA masih terbilang rendah, yakni satu orang," kata dia.
Reinhard menambahkan, Ditjenpas pun melakukan upaya koordinasi dengan kepolisian dalam mengawasi penghuni yang dibebaskan. Hal ini untuk mengantisipasi napi yang dibebaskan agar tak mengulangi kejahatannya.