Rabu 13 May 2020 19:11 WIB

Legislator: Kenaikan Iuran BPJS Bertentangan dengan UU

Legislator mengatakan kenaikan iuran BPJS bertentangan dengan UU dan putusan MA.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Bayu Hermawan
Aksi menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan (ilustrasi)
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Aksi menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati mengatakan, kenaikan kembali tarif Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang diputuskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Perpres 64/ 2020, menyalahi berbagai undang-undang. Ia mengatakan, Perpres itu juga bertentangan dengan putusan MA yang membatalkan kenaikan sebelumnya, yakni Pasal 34 Perpres 75/2019

"Penerbitan Perpres ini bukan merupakan pelaksanaan amar putusan MA, dimana apa yang diperintahkan oleh MA untuk dilaksanakan tetap belum dilaksanakan," kata Kurniasih, Rabu (13/5).

Baca Juga

Kurniasi mengakui, putusan MA hanya membatalkan ketentuan Pasal 34 dalam Perpres 75/2019. Sedangkan Perpres 64/2020 mengatur banyak hal lainnya yang tidak diputuskan oleh MA. Namun, alasan pembatalan MA atas Pasal 34 Perpres 75/2019 adalah bahwa pasal tersebut bertentangan dengan (a) UU SJSN dan (b) UU BPJS. Pasal 2 UU SJSN menyatakan bahwa Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sementara, Pasal 2 UU BPJS menyebutkan bahwa: BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan asas kemanusiaan, manfaat, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

"Oleh karena itu, dalam rangka menjalankan putusan MA maka Perpres 64/2020 haruslah tidak bertentangan dengan 2 UU diatas. Dalam hal ini Perpres 64/2020 masih menggunakan persepsi dan logika yang sama dengan penerbitan Perpres 75/2019, dengan demikian maka Perpres 64/2020 ini tetap belum menjalankan amar putusan MA," ujarnya.

Di samping itu, Penerbitan Perpres 64/2020 sangat tidak sesuai karena pada saat ini kondisi masyarakat masih dalam situasi Bencana Nasional Pandemi Covid 19, sebagaimana ditetapkan oleh Presiden sehingga masyarakat berada dalam kondisi krisis ekonomi dan juga krisis kesehatan (Pandemi). 

Penjadwalan kenaikan dengan pemberian waktu tenggang, menurut Kurniasih juga bukan merupakan jawaban atau pelaksanaan putusan MA tersebut, melainkan merupakan skema finansial dalam rangka kebijakan keuangan dan hanya berlandaskan pada sudut pandang ekonomi dan bukan perwujudan keadilan sosial, dan jaminan sosial dalam bidang kesehatan. 

"Seharusnya Pemerintah membantu meringankan beban rakyat di saat Pandemi yang memberatkan ekonomi rakyat, bukan menambah beban rakyat. Regulasi ini juga pasti akan menjadi beban bagi APBD," katanya.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement