REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar
Ketika Perhimpunan Tabib Indonesia hendak mengadakan kongres, Soedarjo Tjokrosisworo mengajukan protes. Protesnya terkait dengan kabar bahwa kongres tabib pada 22-25 Maret 1940 itu akan menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia. Soedarjo adalah pencetus sekaligus ketua Kongres Bahasa Indonesia I di Solo pada Juni 1938.
Sebutan bahasa Indonesia dicetuskan oleh Tabrani dan alasannya ia tulis di koran tulis Hindia Baroe pada 11 Februari 1926. Ia kemudian mengajukannya untuk naskah Sumpah Pemuda yang disusun Muh Yamin untuk Kongres Pemuda Indonesia I pada 29 April–2 Mei 1926. Saat itu Tabrani menjadi ketua kongres.
Harusnya kongres itu menghasilkan sumpah pemuda, namun batal lantaran Yamin sebagai penyusun naskah sumpah pemuda tak setuju dengan penyebutan bahasa Indonesia. Ia menulis “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Melayu”. Sementara, Tabrani mengoreksinya, “menjunjung bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia”. Di Kongres Pemuda Indonesia II, naskah sumpah pemuda yang disiapkan Yamin sudah mengikuti saran Tabrani.
Pergulatan tak berhenti di Kongres Pemuda I. Setelah lancar di Kongres Pemuda II, sehari-hari bahasa Indonesia tetap diabaikan penggunakaannya. Bahasa Belanda tetap menjadi bahasa sehari-hari kalangan intelektual dan bahasa daerah di kalangan awam, meski media massa mencoba terus melanggengkan penggunaan bahasa Indonesia.
Hingga akhirnya, Soedarjo gusar dengan penggunaan bahasa Indonesia oleh koran-koran Cina. Soedarjo pun rajin menciptakan kosa kata Indonesia, dan kemudian mencetuskan kongres bahasa.
Di kongres bahasa ini, Tabrani mengusulkan agar penguasaan bahasa Indonesia dijadikan syarat pengangkatan pejabat dan pegawai. Ia juga mengusulkan agar surat-menyurat lembaga pemerintah menggunakan bahasa Indonesia. Ia juga mengusulkan agar bahasa Indonesia digunakan di lembaga perwakilan dari gemeenteraad hingga volksraad.
Pulang dari kongres bahasa, kembali yang digunakan sehari-hari masyarakat intelektual adalah bahasa Belanda. Dua tahun kemudian, Soedarjo mendapat kenyataan: Kongres Perhimpunan Tabib Indonesia yang dipimpin anggota Volksraad dr Rasjid pun menggunakan bahasa Belanda. Padahal, Fraksi Nasional Volksraad yang dipimpin MH Thamrin mendukung penuh Kongres Bahasa Indonesia mengenai penggunaan bahasa Indonesia. Thamrin berjuang mempergunakan bahasa Indonesia di Volksraad dan bersama Tabrani memperjuangkan penggunaan bahasa Indonesia di Dewan Kota Batavia.
Tabrani pun menghubungi Rasjid mengenai isu penggunaan bahasa Belanda di kongres tabib itu. Rasjid memberi jawaban bahwa ada dua orang yang menyanggupi mengunakan bahasa Indonesia di kongres, yaitu Gularso dan Saleh Mangoendiningrat. Tapi anggota yang lain tidak memberikan kesanggupan, sehingga akan menggunakan bahasa Belanda di rapat-rapat tertutup kongres.
Rasjid menegaskan Perhimpunan Tabib Indonesia tetap mendukung pengembangan bahasa Indonesia. Namun banyak tabib yang terkendala kemampuan. “Ini mudah dimengerti karena seseorang tidak dapat mengadakan pidato yang sulit-sulit dalam bahasa Indonesia, sebelum ia mempelajari bahasa tersebut dengan sungguh-sungguh, sehingga pada tiap-tiap golongan di dalam masyarakat kita (jadi juga pada dunia tabib) didapati dua bagian yaitu bagian yang sudah dan bagian yang belum sanggup berpidato dalam bahasa Indonesia,’’ ujar Rasjid kepada Tabrani.
Bagi para tabib, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang masih baru. Namun yang diambil Perhimpunan Tabib Indonesia, sejalan dengan keputusan Balai Pengetahuan Masyarakat Indonesia yang dipimpin oleh Ir Soerachman: Balai Pengetahuan Masyarakat Indonesia mengambil putusan untuk selalu memakai bahasa Indonesia, terkecuali dalam keadaan memaksanya. Misalnya orang yang akan berpidato tidak paham bahasa Indonesia.
Soerachman adalah priyayi Jawa keturunan kelima Sri Sultan Hamengku Buwono II yang juga belum fasih berbahasa Indonesia. Ia adalah pribumi pertama yang menjadi sarjana kimia Technische Hoogeshool te Bandoeng yang di kemudian hari menjadi rektor pertama Universitas Indonesia. Tabrani memiliki kesaksian soal kemauan keras Soerachman mempelajari bahasa Indonesia.
“Tuan Ir Soerachman misalnya terhitung seorang terpelajar yang dengan susah (apalagi beliau pegang pimpinan) berbicara apalagi berpidato dalam bahasa Indonesia. Tetapi lambat laun beliau lancar juga dalam pembicaraannya. Demikian juga dengan tuan-tuan lainnya seperti Mr Hadi, Mr Soepomo, Mr Koentjoro, Mr Soewandi, dan sebagainya,’’ ujar Tabrani.
Kendala lain bagi pengembangan bahasa Indonesia adalah anggapan masyarakat tentang bahasa Belanda. Memiliki kemampuan sempurna dalam bahasa Belanda dianggap sebagai terpelajar. Syarat menjadi pejabat pun perlu kemampuan bahasa Belanda. Karenanya, banyak orang tua berharap anak-anaknya bisa berbahasa Belanda.
Maka, ketika Sekolah Dagang Moestika Indonesia mengadakan lomba mengarang berbahasa Indonesia untuk anak-anak muda pada Maret 1940, apresiasi mengalir kepadanya. Alasannya, bahasa Indonesia bukan hanya untuk kalangan orang tua, melainkan juga untuk anak-anak, karena di merekalah masa depan bahasa Indonesia akan jaya.