REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Gani A. Djaelani, Ph.D, Pengajar di Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran*
Berikut ini kami sajikan tulisan Gani A. Jaelani yang dimuat dalam 'Jurnal Sejarah' Vol. 1/1 (2017) yang diterbitkan oleh kalangan para sejawaran yang tergabung dalam 'Masyarakat Sejarawan Indonesia'.
Tulisan tersebut yang aslinya berjudul Islam dan Persoalan Higiene di Hindia Belanda secara khusus mengangkat persoalan Islam di Indonesia, terutama sebagai bahan pejalaran hari ini ketika tengah merebak pandemi wabah Corona dan berbagai hal lain yang terkait kesehatan masyarakat.
Artikel asli dalam jurnal tersebut demi pertimbangan keterbatasan halamam, kami pecah menjadi dua tulisan (kini akan kami tambah satu seri lagi karena nanti terkait soal haji). Republika.co.id memuat kembali tulisan ini atas seizin pengelola Jurnal Sejarah' tersebut. Artikel kami muat dengan menghilangkan catatan kaki dengan tujuan agar tulisan lebih bisa dinikmati orang awam secara luas.
Mengenai tulisan ini sangat menarik dan bermanfaat karena mengangkat berbagai topik tentang interaksi dan keterlibatan Islam di Indonesia dengan jaringan global, penyebaran kegiatan keagamaan di berbagai tempat di Indonesia, perkembangan politik dan saling singgung pengaruh ajaran Islam di dalam lingkup budaya lokal masyarakat Indonesia. Begini tulisan selengkapnya:
-----------------
Pada 1925,Dienst der Volksgezondheid (Dinas Kesehatan Masyarakat) dibentuk. Ini merupakan penyempurnaan dari lembaga yang telah dibentuk satu dasawarsa sebelumnya, Burgerlijk Geneeskundige Dienst (Dinas Kesehatan Sipil).
Sejak dasawarsa ketiga abad ke-19, BGD selalu berada di bawah otoritas Militaire Geneeskundige Dienst (Dinas Kesehatan Militer). Upaya pelayanan kesehatan terhadap masyarakat luas pun dirasa kurang maksimal, dan pemisahan dinas kesehatan di awal dasawarsa kedua abad ke-20 merupakan
upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat.
Pada 1920 dibentuk seksi “Adviseur voor de Propaganda”, dan propagandis resmi pertama adalah Lucien Sophie Albert Marie von Römer (1873-1853), seorang ahli kedokteran tropis yang pernah menjabat kepala Dinas Kesehatan Batavia tahun 1915, dan sejak 1917 menjadi inspektur di Departemen Kesehatan Masyarakat.
Sebagai seorang propagandis, Von Römer menyusun dasar-dasar untuk pendidikan rakyat
dengan buku-buku, gambar-gambar, sampai ke pembuatan film. Hanya saja, karena alasan penghematan, seksi ini kemudian dihapus pada tahun 1923.
Penghapusan ini tidak berarti pekerjaan propaganda di bidang higiene menjadi berhenti. Setidaknya, itulah yang bisa diamati dari tulisan John Hydrick di tahun 1927 yang meyakini bahwa, “dengan dibentuknya seksi propaganda ini, dinas pelayanan kesehatan masyarakat bermaksud untuk mencari tahu seputar ide-ide dasar dari higiene untuk diajarkan kepada masyarakat pribumi cara bagaimana menjalani hidup sesuai dengan aturan- aturan higiene. Ketika masyrakat mulai memahami ide-ide itu, upaya menerapakan prinsip -prinsip higienis bisa diperkenalkan dengan melibatkan mereka”.
John Lee Hydrick sebetulnya merupakan tokoh sentral dalam propaganda higiene kepada masyarakat pribumi. Ia tiba di Jawa pada tahun 1924. Kehadirannya di Hindia Belanda tidak bisa dipisahkan dari program Rockefeller Foundation (RF) melalui divisi kesehatan internasionalnya yang didirikan pada tahun 1913 .
Kedatangan Hydrick di Hindia Belanda atas nama Rockefeller Foundation bukan tanpa persoalan. Direktur DVG, Dr. Van Lonkhuijzen, misalnya, menentang intervensi Rockefeller Foundation dalam persoalan kesehatan masyarakat di tanah jajahan ini. Keberatannya ini ia sampaikan dalam pidatonya di Volksraad tahun 1923, setahun sebelum kedatangan Hydrick. Ia tidak percaya kepada metode yang dijalankan RF bisa berjalan efektif.
- Keterangan foto: Penyuntikan vaksin untuk menanggulangi wabah di Hindia Belanda.
Sebab, kesuksesan metode ini di Amerika bukan merupakan ukuran untuk meraih hasil yang sama, mengingat kerjasama dengan penduduk pribumi di Hindia Belanda belum tentu bisa didapat. Demikian, kedatangan Hydrick untuk pertama kali ke Hindia Belanda pun membuatnya harus berhadapan dengan DVG .
Pekerjaan Hydrick di Hindia Belanda berpusat pada pemberantasan penyakit cacing yang cukup menyebar di kalangan penduduk. Ini dilakukan dengan cara mengajarkan cara hidup bersih, terutama dengan mengenalkan cara buang air besar di toilet. Karena itu, program Hydrick pun dikenal dengan program pembangunan toiletnya. Para mantri yang menjadi agen propagandanya pun dikenal sebagai “mantri kakus”. Mereka yang mendatangi tiap rumah memberi pengajaran tentang hidup bersih dan mereka pun menginspeksi apakah toilet yang dibangun itu dipergunakan atau tidak.
Terkait para mantri, mereka memang sengaja dilatih untuk menjadi propagandis hidup bersih. Keberadaan mereka dibutuhkan sebab mereka dianggap lebih mengenal kondisi masyarakat pribumi dan karenanya bisa lebih mudah berbicara dan memberi penjelasan. Untuk itu, pada tahun 1933, pusat pendidikan untuk pendidik higiene didirikan di Purwokerto untuk melatih para agen propaganda ini. Beberapa di antara mereka merupakan lulusan STOVIA.
Harus disebutkan bahwa para lulusan STOVIA ini kurang mendapat tempat dalam struktur hierarkis korps dokter Belanda. Tapi keberadaan program Rockefeller, membuat mereka menjadi lebih berguna. Dalam kondisi seperti inilah Ahmad Ramali hadir.
Dokter Ahmad Ramali lahir di kota Bonjol pada 20 November 1903. Sejak usia 7 tahun, ia mulai sekolah di Openbare Lagere Europesche School di Bukittinggi. Pada usia 15 tahun, Ramali pergi ke Batavia untuk melanjutkan sekolah di STOVIA, dan lulus tahun 1928. Setelah lulus, ia bekerja menjadi dokter di Rumah Sakit Pemerintah, yang membuatnya kemudian harus sering berpindah-pindah kota. Ia, misalnya, antara lain, pernah ditempatkan di Pematang Siantar, Padang Sidempuan, Jakarta, Semarang, dan Tuban. Ketika bertugas di Padang Sidempuan, ia kerap memberi ceramah dalam bidang kesehatan di sebuah perkumpulan anak-anak sekolah bernama Gezondheid Briegade.
Kenyataan bahwa sebagian besar penduduk di sana memiliki empang - empang yang airnya tidak mengalir, membuat ceramah Ramali juga banyak membahas persoalan ini. Ia menyarankan penduduk menutup empang - empang supaya tidak menjadi tempat berkembangnya jentik nyamuk penyebab malaria. Pemerintah Kolonial sebetulnya sudah sering memberi penerangan terkait hal ini, tapi penduduk tidak menghiraukannya. Sebaliknya, ajakan dari dokter Ramali mendapat sambutan yang baik, terutama dengan keterlibatan Gezondheid Briegade itu sendiri.
Apa yang dilakukan oleh Ramali ini kemudian dianggap sebagai mengurangi kewibawaan pemerintah Belanda, dan karenanya kemudian ia dipindahtugaskan ke Batavia.
- Keterangan foto: Para pengajar dan siswa sekolah kedokteran Stovia.
Sebagai seorang dokter, Ahmad Ramali memiliki ketertarikan untuk melihat hubungan antara Islam dengan ilmu kedokteran. Peran Haji Agus Salim, seorang pemikir politik Islam yang juga merupakan tokoh partai Syarikat Islam, sebagai pembimbing sang dokter dalam bidang keagamaan tidak bisa dilepaskan. Pada tahun 1933 ia menerbitkan sebuah artikel, “Bijdrage tot de Medisch - Hygiënische Propaganda in eenige Islamitische streek”, terdiri dari tujuh bagian, tentang kesesuaian antara prinsip
- prinsip islam dengan hidup higienis.
Di tahun yang sama, ia juga menerbitkan Tangkal Pest Jaitoe Persatoean ‘Ilmoe dan Agama Menolak Bahaja Pest. Dalam pengantarnya, Haji Agus Salim menulis, “...saja merasa senang, karena karangan toean itoe memboektikan, bahwa djalan kebenaran dan keoetamaan haroes ditjari pada djalan persatoean ‘ilmoe dan agama, dengan ‘ilmoe sebagai alat perkakas dan agama sebagai pedoman
penoentoen“. Pernyataan tersebut menunjukan betapa Haji Agus Salim sangat senang dengan apa yang dilakukan Ahmad Ramali yang berusaha melihat kaitan antara ilmu dan agama.
Dalam kaitannya dengan persoalan wabah pest, ada satu permasalahan yang cukup sensitif di kalang masyarakat, yakni pemeriksaan jasad orang yang diduga meninggal karena penyakit ini, untuk mengetahui sebab sesungguhnya dari kematiannya itu. Hal ini diperlukan sebagai dasar untuk tindakan pencegahan mewabahnya penyakit itu. Hanya saja, tindakan ini dianggap oleh para pemuka agama Islam sebagai sesuatu yang “merendahkan deradjat majat” dan “menghina kepada majat”, sesuatu yang jelas dilarang oleh agama.
Menurut Agus Salim, Ahmad Ramali berhasil memadukan silang pendapat dalam hal ini, “maka amat berkenan hati saja melihat toean (Ahmad Ramali) menjatakan pendapatan jang tentoe dengan tidak koerang anggapan kepada paham jang berlainan. Sehingga dapatlah toean memberi djalan perdamaian bagi kedoea belah pihak tentang soentikan majat itoe”, tulisnya.
Bagaimana Ahmad Ramali menyusun argumennya yang membuat Haji Agus Salim sendiri memujinya? Saya akan mulai dari apa yang menjadi pertentangan utama, yakni terkait boleh tidaknya pemeriksaan mayat dengan menyuntikan jarum ke limpa untuk mengetahui penyebab utama kematiannya. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit “pest paro -paroe” atau longenpest, penyakit pest yang bisa menular dari orang ke orang melalui jalan udara.
Ahmad Ramali melihat bahwa terkait hal ini terdapat dua bentuk penolakan, yakni penolakan yang sifatnya teknis dan substantial. Terkait yang pertama, umumnya menyangkut perlakuan terhadap mayat, seperti pemeriksaan mayat perempuan oleh dokter laki - laki atau perlakukan semena-mena seorang dokter ketika memeriksa mayat. Menurut sang dokter, rakyat berhak protes jika ada perlakukan yang tidak sesuai, tapi:
“tidaklah hal itoe mengobah kenjataan, bahwa pengawasan kematian itoe adalah satoe atoeran jang perloe oentoek mendjaga keselamatan negeri dan pendoedoek”, dan “keberatan-keberatan itoe tidak haroes didjadikan sebab akan mengetjiwakan pekerdjaan pengawasan kematian itoe. Sebab dengan ‘menjeloedoepi’ pengawasan itoe dan menjemboenjikan majat atau mengoeboerkan majat sebeloem pemeriksaan, boekan pegawai - pegawai jang salah itoe jang kena bentjana, melainkan negeri dan kaoem pendoedoek sendiri djoega jang ditimpa oléh bahaja”.
Untuk penolakan substansial dari praktek itu yang umumnya bersandar pada argumen keagamaan, Ahmad Ramali juga menjawabnya juga dengan argumen keagamaan.
Pertama, ia menjawab kritik yang mengatakan bahwa memasukan jarum suntik ke limpa mayat merupakan laku merusak mayat yang jelas dilarang oleh agama, dengan mengatakan bahwa “soentikan itoe [...] tidak oentoek memasoekkan barang satoe apa kedalam badan majat itoe, melainkan oentoek mengeloearkan air daripada limpanja oentoek diperiksa”.
Atas dasar itu, suntikan limpa terhadap mayat harus dianalogikan dengan hukum suntikan untuk mengeluarkan air dari orang hidup untuk keperluan pemeriksaan. Kedua, kalaupun praktek ini tetap dipandang sebagai laku aniaya terhadap mayat, maka Ahmad Ramali pun bersandar pada hukum Islam yang mengatakan bahwa itu perilaku itu bisa dibenarkan untuk kepentingan orang hidup.
Ini bisa dianalogikan dengan kasus diperbolehkannya mengeluarkan bayi yang masih hidup di lama perut soerang ibu yang meninggal dengan cara membelah perutnya. Demikian, “sjahdan daripada beberapa keterangan jang terdahoeloe soedah njatalah, bahwa segala daja-oepaja pentjegahan pest itoe adalah daja-oepaja bagi membéla dan memeliharakan njawa kaoem pendoedoek jang hidoep”.
Sebagai seorang dokter yang dididik secara barat, ia berupaya memberi penjelasan ilmiah atas ajaran Islam dan meletakannya dalam kerangka sains modern yang selalu bersandar pada eksperimen. Terkait konsep “nadjis”dalam Islam, misalnya, ia memberi menjelasan dalam kerangka paradigma bacteriologi.
Hal - hal yang dianggap nadjis dalam Islam seperti darah, nanah, muntah, tinja, air seni harus selalu dijauhi, dan sekali tubuh terkena unsur - unsur itu maka harus segera dibersihkan karena akan membuat tubuh kita kotor dalam pengertian keagamaan. Sementara itu, berdasarkan pemikiran kedokteran, hal - hal tadi juga harus dijauhi karena di dalamnya terdapat sebuah organisme kecil, sebuah mikroba, yang dianggap sebagai penyebab utama munculnya penyakit.