REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pemerintah tidak menggelar Pilkada 2020 pada tahun ini. Koalisi membuat petisi agar KPU, pemerintah, dan DPR menetapkan pelaksanaan pilkada paling lambat September 2021.
"Kami Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU), DPR, dan Pemerintah untuk menetapkan Pilkada Serentak 2020 dilaksanakan di 2021, paling lambat bulan September," tutur Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini dalam keterangan tertulisnya, Senin (25/5).
Koalisi terdiri dari Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Network For Indonesia Demokratic (Netfid), Perludem, Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Rumah Kebangsaan, dan sebagainya. Petisi dibuat di situs change.org dengan judul 'Keselamatan dan Kesehatan Publik Terancam, Tunda Pilkada ke 2021'.
Hingga Senin siang, sekitar 108 tanda tangan berhasil dikumpulkan menuju 200 dukungan petisi. Titi menuturkan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada tidak menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh penyelenggara pemilu. Pemungutan suara yang ditunda hingga Desember 2020 akibat pandemi Covid-19 membutuhkan pengaturan yang komprehensif.
Menurut dia, perppu tidak berangkat dari pemahaman jika pemungutan dan penghitungan suara dilaksanakan pada Desember 2020, maka tahapan Pilkada lanjutan harus dimulai sejak awal Juni. Belum ada kepastian, Juni menjadi akhir dari penularan Covid-19.
"Belum ada prediksi yang bisa diandalkan mengenai akhir pandemi di Indonesia. Kurva penambahan kasus harian sampai saat ini masih mengalami peningkatan," kata Titi.
Ia melanjutkan, penambahan kasus Covid-19 fluktuatif tetapi masih dalam jumlah peningkatan yang besar. Belum ada tanda-tanda, Indonesia sudah melewati puncak wabah, apalagi mendekati akhir pandemi Covid-19.
Akibatnya, pertama, tahapan pilkada serentak 2020 yang akan berjalan perlu diselenggarakan dengan protokol Covid-19. Hal itu memerlukan sejumlah perubahan dalam proses pelaksanaan pada setiap tahapannya.
Titi menuturkan, tanpa perubahan proses pelaksanaan, tahapan Pilkada jelas akan menciptakan pertemuan para pemangku kepentingan atau kerumunan. Terutama dalam proses pemutakhiran data pemilih, verifikasi dukungan dalam pencalonan, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, serta rekapitulasi dan penetapan hasil.
"Ada risiko terpaparnya banyak orang yang terlibat dalam penyelenggaraan pilkada dengan Covid-19," lanjut Titi.
Kedua, menyelenggarakan Pilkada dengan protokol Covid-19 berkonsekuensi pada anggaran dan perubahan tata cara penyelenggaraan tahapan-tahapan Pilkada. Perppu tak mengubah pasal-pasal mengenai teknis kepemiluan yang diatur di dalam Undang-Undang Pilkada.
Dengan demikian, tahapan Pilkada masih dijalankan dengan ketentuan di UU Pilkada yang ada. Penyelenggaraan juga akan terhambat oleh ketersediaan anggaran, sedangkan anggaran tambahan dari pemerintah daerah tak memungkinkan.
Ketiga, lanjut Titi, ada pula risiko politisasi bantuan sosial, kontestasi yang tak setara bagi peserta pemilu pejawat, nonpejawat, dan turunnya partisipasi pemilih. Menurutnya, memaksakan penyelenggaraan Pilkada di masa pandemi berpotensi menimbulkan lebih banyak mudharat daripada manfaatnya.
"Jika penyelenggaraan Pilkada tidak dapat memastikan keselamatan penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan pemilih, bijaknya tahapan Pilkada ditunda ke 2021. Seharusnya kita menyelenggarakan Pilkada untuk kepentingan kemanusiaan, yang hak atas keselamatan dan kesehatannya terjamin, bukan sebaliknya," tegas Titi.