REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- “Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua); pada hari ketika manusia lari dari saudaranya; dari ibu dan bapaknya; dari istri dan anak-anaknya; Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya;” (QS. Abasa: 33-37).
Beberapa ayat terakhir surat Abasa ini mengingatkan bahwa apa yang pernah dibanggakan di dunia ini tidak akan ada artinya di Hari Akhir. Mulai dari saudara, ibu, ayah, anak cucu dan siapa saja yang pernah diandalkan di dunia. Apalagi harta benda yang hilang tanpa bekas ditelan bumi.
Manusia, saat itu, sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Sesama manusia sudah tidak bisa saling menolong dan menyalahkan satu sama lain. Manusia tinggal mengingat-ingat kembali apa yang pernah dilakukan di dunia. Ia mencari kebaikan di dunia dulu yang sekiranya bisa menyelamatkan dirinya dari jilatan api neraka.
Namun, bagi manusia yang cerdas secara ruhaniah, kebaikan itu sudah disiapkan sejak masih hidup. Ia tahu bahwa hanya amal kebaikan yang bisa mengantarkan pada ridha Allah. Lebih dari itu, ia menyiapkan kebaikan yang sekiranya nanti bisa dibanggakan di hadapan Allah, bukan di hadapan manusia.
Abdullah bin Jahsy dan Sa’ad bin Abi Waqas menjelang perang Uhud pernah berdoa bersama dan saling mengamini. Sa’ad berdoa, ”Ya Allah, berilah aku musuh yang sangat tangguh. Aku berusaha membunuhnya dan dia berusaha membunuhku. Dan berilah aku kemenangan.”
Dalam hati ia berbisik, “jika nanti malaikat bertanya: amalan apa yang kau banggakan? Maka aku bisa menjawab aku telah berhasil membunuh orang yang paling berbahaya di perang Uhud.” Sekiranya aku mati syahid, aku bisa bangga menyatakan bahwa aku mati syahid terbunuh oleh tentara kafir yang paling kuat.
Abdullah bin Jahsy berdoa dengan uniknya, ”Ya Allah, pertemukanlah aku esok dengan musuh yang kuat tenaganya. Aku akan membunuhnya karena-Mu, dan orang itu berusaha membunuhku. Kemudian ia memotong hidung dan kedua telingaku. Apabila engkau bertanya kepadaku kelak, ‘Ya Abdullah, mengapa hidung dan telingamu itu?’. Aku akan menjawab, ‘Keduanya terpotong saat membela agama-Mu di perang Uhud. Engkau berfirman, “Kau benar.“
Doa mereka dikabulkan. Saat perang berakhir, Sa’ad yang berhasil membunuh musuhnya melihat dua daun telinga dan hidung bergantung dengan seutas tali”. Sa’ad merasa bahwa Abdullah bin Jahsy lebih baik daripada dirinya, karena menghadap Allah lebih dahulu.
Sepanjang hidup, tentu banyak kebaikan (dan keburukan) yang telah dilakukan. Tapi, adakah yang bisa dibanggakan di Hari Akhir saat bertemu dengan Ilahi Rabbi? Mungkinkah shalat ribuan kali, puasa penuh lapar dan dahaga, haji dan umroh berkali-kali, infak-shadaqah dan ibadah lain yang kita lakukan selama ini bisa dibanggakan di hadapan-Nya? Jangan-jangan shalat kita masih jauh dari khusyu’? Haji hanya untuk prestise sosial dan terbersit pujian orang saat berinfak?
Setidaknya, ada dua kunci meraih amalan kebanggaan. Pertama, perlu kesungguhan untuk melakukannya. Tidak main-main. Tidak sekedar formalitas-simbolik untuk menggurkan kewajiban.
Kedua, keikhlasan, inilah hal paling tersembunyi dalam diri manusia. Letaknya jauh dalam di lubuk hati. Hanya Allah dan yang bersangkutan yang tahu tentang keikhlasan satu perbuatan. Orang yang berkali-kali mengatakan dirinya ikhlas belum tentu benar-benar ikhlas. Sekali lagi, perbuatan apa yang bisa kita banggakan di hadapan-Nya di Hari Akhir?