REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pastor Katolik Pribumi dari Lima Keuskupan Seregional Papua mendesak pemerintah untuk membuka ruang dialog dengan orang-orang Papua. Ada empat hal yang perlu dibahas dalam dialog tersebut, yang dinilai sebagai akar masalah yang terjadi di Papua.
"Kami meminta kepada pemerintah Indonesia agar konflik di tanah Papua dapat diselesaikan dan orang asli Papua dapat hidup damai sejahtera di atas tanah leluhurnya," ungkap Penanggung Jawab Koordinator JDP dan Pastor, Pastor Alberto John Bunay, merujuk lansiran Ketua Departemen Keadilan dan Perdamaian Gereja Kingmi, Yones Douw pada Senin (8/6)
Mereka menyoroti adanya masyarakat Papua yang dikenakan pasal makar karena melakukan aksi melawan rasisme. Menurut mereka, ada ketidakadilan dalam penanganan kasus tersebut, di mana pelaku rasisme hanya divonis lima bulan penjara, sedangkan yang menjadi korban rasisme dputus lima tahun penjara dan 17 tahun penjara.
"Supaya suatu saat mereka berbuat sesuatu tidak dijerat dengan pasal makar lagi, maka sangat baik dibuka ruang dialog untuk membahas akar masalahnya," kata Alberto.
Alberto mengatakan, ungkapan NKRI harga mati dan Papua merdeka harga mati timbul karena belum adanya ruang dialog tersebut. Karena itu, pembicaraan masalah antara para pihak yang berkonflik semestinya dilakukan terlebih dahulu, bukan diselesaikan dengan saling menyalahkan dan menggunakan kekerasan.
"Apapun masalahnya, tanah Papua bukan tanah kosong. Tanah Papua milik orang asli Papua. Mereka ada dalam tujuh wilayah adat. Karena itu, sangat bermartabat apabila semua rencana diselesaikan dengan cara dialog," kata dia.
Dia menjelaskan, dialog tidak membunuh, tidak menyakitkan, dan tidak membuat pihak yang berdialog menjadi bodoh. Namun sebaliknya, jika yang digunakan untuk menyelesaikan masalah itu adalah kekerasan, maka akan selalu meninggalkan luka baik lahir maupun batin.
"Apapun alasannya, membunuh adalah salah-dosa," katanya.
Setidaknya ada empat hal yang perlu dibahas dalam dialog tersebut. Hal pertama, yakni soal sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia. Kedua, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sejak 1963 hingga kini. Berikutnya, soal diskriminasi dan marginalisasi orang Papua di tanah sendiri. Kemudian terkait kegagalan pembangunan yang meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat.
"Secara permanen, pendekatan dialog harus menjadi kebijakan baru untuk membangun Papua yang stabil dan sejahtera. Bukan kekerasan dan penambahan pasukan. Untuk itu perlu dibentuk tim independen, dari Jakarta dan Papua, merekalah yang melakukan tahapan-tahapan persiapan dialog," tuturnya.