REPUBLIKA.CO.ID,
وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ ٢٢١
Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Ayat ini merupakan bagian dari kelompok ayat yang memberikan tuntunan kepada manusia tentang pembinaan kehidupan keluarga dalam Islam. Pada ayat lalu, yaitu ayat 220, dijelaskan bagaimana memperlakukan anak-anak yatim dengan baik yang hidup dalam satu keluarga bersama pengasuhnya. Anak yatim tersebut diperlakukan sebagaimana anggota keluarga sendiri. Dalam pandangan umum keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang minimal terdiri dari suami dan istri. Pada ayat ini Allah memberikan tuntunan bagaimana memilih pasangan, suami atau istri yang menjadi cikal bakal dari sebuah keluarga.
Pemilihan pasangan, suami atau istri, merupakan suatu hal yang penting untuk menjadi bahan pertimbangan dalam membentuk rumah tangga, karena kekuatan bangunan rumah tangga itu sangat tergantung pada suami dan istri sebagai pilar utamanya. Pilar ini harus kuat agar bangunan rumah tangga tetap berdiri dengan kokoh dalam menghadapi persoalan kehidupan.
Kekuatan itu, tidak terletak pada kecantikan dan ketampanan, karena keduanya akan pudar dimakan waktu dan juga bersifat relatif, bukan pula pada harta kekayaan, karena harta kekayaaan itu sangat mudah datang dan pergi, dan bukan pula karena kedudukan dan status sosial, karena ini juga akan berubah sejalan dengan perubahan yang terjadi di masyarakat. Kekuatan pilar utama itu akan ditemukan pada kekuatan iman dan ketaatan dalam menjalankan tuntunan Allah. Oleh karena itu, tuntunan pertama dan utama yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk mendirikan rumah tangga adalah keimanan.
Adapun sebab turun ayat 221 ini, menurut riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan al-Wahidi yang bersumber dari al-Muqatil adalah berkenaan dengan Ibnu Abi Mirtsad al-Ghanawi yang meminta izin kepada Rasulullah saw untuk menikahi ‘Anāq, seorang wanita Quraisy yang miskin tapi cantik, namun masih musyrik, sedangkan Ibnu Abi Mirtsad seorang Muslim. Lalu Allah menurunkan ayat ini. (Ali Ibnu Ahmad al-Wāhidī al-Naysābūrī, Asbāb al-Nuzūl, (Kairo: Maktabah al-Manār, th.1388H/ 1968M), hlm. 39)
Kata al-musyrikāt (الْمُشْرِكَاتُ) yang berarti perempuan-perempuan musyrikdan kata al-musyrikīn (الْمُشْرِكِيْنَ) yang berarti laki-laki musyrik, merupakan bentuk jamak dari al-musyrik (الْمُشْرِكُ) yang berarti orang yang menyekutukan Allah dengan selain-Nya atau orang yang melakukan suatu kegiatan dengan tujuan utama ganda, kepada Allah dan kepada selain-Nya, misalnya ahlul kitab. Dalam Q.S. al-Taubah (9): 29-30 dijelaskan bahwa di antara kelompok ahlul kitab adalah penganut Yahudi dan Nasrani. Orang-orang Yahudi mempercayai bahwa Uzair adalah anak Allah, demikian juga orang-orang Nasrani yang mempercayai Isa al-Masih adalah anak Allah juga. Inilah yang menjadi dasar bagi segolongan ulama untuk mengatakan bahwa yang dimaksud dengan الْمُشْرِكَاتُ dan الْمُشْرِكِيْنَ dalam ayat ini mencakup Ahlul Kitab.
Di antara alasan para ulama yang mengelompokkan Yahudi dan Nasrani sebagai ahlul kitab yang melakukan perbuatan syirik adalah firman Allah dalam Q.S.al-Taubah (9):31, yang berbunyi سُبْحَانَهُ عَمَّا ُيُشْرِكُوْنَyang berarti “Maha Suci Dia (Allah) dari apa yang mereka persekutukan”dan Q.S.al-Nisa’ (4):48, yang berbunyiإِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَآءُyang berarti “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya, dan Dia mengampuni dosa yang selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki”.
Menurut pendapat ini, kalau mereka bukan termasuk orang musyrik tentulah Allah akan mengampuni mereka. (Muhammad Rasyīd Ridhā, Tafsīr al-Manār, (Beirut; Dār al-Ma’rifah, th 1414H/1993M) jilid II, hlm. 348-349). Namun demikian, sebagian besar mufassir mempunyai pandangan lain. Menurut mereka yang dimaksud dengan musyrikat dan musyrikin adalah musyrikat Arab yang tidak mempunyai kitab, dan mereka adalah para penyembah berhala, karena inilah makna yang biasa dipakai oleh al-Qur’an untuk pengertian musyrik. Dengan demikian, orang Yahudi yang mengatakan Uzair anak Allah atau orang Nasrani yang mengatakan Isa al-Masih anak Allah dan mempercayai trinitas, yang oleh Islam dinilai telah mempersekutukan Allah, namun al-Qur’an tidak menyebut mereka sebagai orang musyrik, tetapi menyebut mereka sebagai ahlul kitab sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah Q.S.al-Baqarah (2):105,
مَا يَوَدُّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلاَ الْمُشْرِكِيْنَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ
Orang-orang kafir dari ahlul kitab dan orang-orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya suatu kebaikan dari Tuhanmu.
dan firman Allah dalam Q.S. al-Bayyinah (98):1,
لَمْ يَكُنِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِيْنَ مُنْفَكِّيْنَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ.
Orang-orang kafir dari golongan ahlul kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan agama mereka sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.
Bersambung...