REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis, menilai aturan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sudah sangat tertinggal dengan kemajuan teknologi. UU Penyiaran itu tidak dapat mengakses dan menindak tegas jika ada permasalahan di media baru yang tengah berkembang saat ini.
"Rasanya tidak adil jika siaran media penyiaran diperlakukan ketat atau berbeda karena ada pengawasan dan naungan regulasi yang memayungi. Sedangkan media baru yang belum ada payung hukum justru bebas bergerak tanpa pengawasan," ujar Andre dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Rabu (10/6).
Menurut Andre, solusi untuk mengejar ketertinggalan dari kemajuan teknologi beserta perkembangan media baru tersebut ada di DPR. Dia mengatakan, DPR dapat sesegera mungkin melakukan revisi terhadap UU yang sudah berusia 18 tahun itu dan kemudian mengesahkannya.
KPI, kata dia, siap melakukan pengawasan terhadap media baru jika memang diamanahkan dalam UU Penyiaran yang baru itu. Tapi, kelembagaan KPI dan KPI Daerah sebelumnya perlu diperkuat secara sistemati, utuh, dan tegas. Dia mengatakan, KPI juga akan mengalami perubahan menjadi artificial intelligence ketika masuk ke dalam teknologi baru itu.
Andre menyatakan, megnawasan terhadap media baru sangat krusial. Selain memberi perlakuan yang sama dengan media yang sudah ada, konten dalam media baru belum sepenuhnya aman. Ia khawatir hal tersebut akan berdampak lebih buruk terhadap publik, khususnya bagi anak dan remaja.
“Kita tahu ada layanan tontonan streaming yang menyediakan film-film berkualitas, tapi apa sudah sesuai dan pantas dengan budaya dan adat kita. Apa yang mereka sampaikan belum disaring sesuai dengan kultur bangsa kita. Kami apresiasi Komisi I DPR yang sudah menstimulasi perkembangan RUU Penyiaran,” terang dia.
Jika sudah diberi kewenangan oleh UU Penyiaran yang baru nantinya, KP berencana akan membuat batasan untuk konten asing terhadap konten lokal. Pembatasan tersebut dilakukan dengan harapan dapat menghindari terjadinya dominasi siarang asing.
“Batasan ini agar tidak terjadi dominasi siaran asing. Minimal 60 persen untuk ketersediaan konten lokal dalam siaran,” ujar dia.
Terkait produksi konten tersebut, Andre menilai keterlibatan pemerintah terhadap usaha-usaha pembuat konten lokal amat penting. Dia mengatakan, pemerintah dapat memberikan dukungan berupa subsdi berkesinambungan kepada konten agregator.
"Kami sangat peduli dengan urusan konten. The King is content. Ini menjadi konklusi industri ke depan,” kata dia.