Sabtu 13 Jun 2020 01:18 WIB

Novel: Jaksa Terkesan Bertindak Sebagai Pembela Terdakwa

Novel Baswedan menilai serangan terhadapnya berlevel maksimal tapi dituntut minimal.

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyidik KPK, Novel Baswedan menilai jaksa penuntut umum (JPU) malah terkesan bertindak sebagai penasihat terdakwa penyiraman air keras terhadap dirinya. Untuk level serangan yang maksimal, menurut Novel pelakunya malah dituntut hukuman minimal.

"Bayangkan, perbuatan level yang paling maksimal itu dituntut 1 tahun (penjara) dan terkesan penuntut justru bertindak seperti penasihat hukum atau pembela dari terdakwanya, ini hal yang harus diproses, dikritisi," kata Novel melalui video di Jakarta, Jumat (12/6).

Baca Juga

Jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Utara pada hari Kamis (11/6) menuntut dua orang terdakwa penyerang penyidik KPK Novel Baswedan, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette, selama 1 tahun penjara. Menurut JPU, para terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras ke mata Novel.

Keduanya disebut hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman air keras ke badan Novel Baswedan. Akan tetapi, di luar dugaan ternyata mengenai mata yang menyebabkan mata kanan tidak berfungsi dan mata kiri hanya berfungsi 50 persen dan menyebabkan cacat permanen.

Tuntutan terhadap kedua penyerang Novel adalah berdasarkan dakwaan Pasal 353 ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam surat tuntutan disebutkan bahwa terdakwa Ronny Bugis bersama-sama dengan terdakwa Rahmat Kadi Mahulette tidak suka atau membenci Novel Baswedan karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

"Tuntutan yang disampaikan JPU yaitu 1 tahun penjara ini tergambar sekali bahwa proses persidangan berjalan dengan aneh, banyak kejanggalan, dan lucu saya katakan," ungkap Novel.

Alasannya, serangan terhadap dirinya dinilai ingin sebagai penganiayaan yang paling tinggi levelnya.

"Penganiayaan yang direncanakan, yang dilakukan dengan berat menggunakan air keras, penganiayaan yang akibatnya luka berat, dan penganiayaan dengan pemberatan, ini level tertinggi," tambah Novel.

Novel mengaku pernyataannya itu tidaklah bentuk emosinya. Namun, bentuk keinginan menegakkan keadilan.

"Saya melihat ini hal yang harus disikapi dengan marah. Kenapa? Karena ketika keadilan diinjak-injak, norma keadilan diabaikan ini tergambar bahwa hukum di negara kita tampak sekali compang-camping," ungkap Novel.

Ketika potret penegakan hukum compang-camping dan asal-asalan, menurut Novel, membuat nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga tampak tidak baik.

"Oleh karena itu saya berharap tentunya hal ini tidak boleh dibiarkan. Selanjutnya bila pola-pola seperti ini tidak pernah dikritisi, tidak pernah diprotes dengan keras, dan kemudian Presiden juga membiarkan, saya sangat meyakini pola-pola demikian akan mudah atau banyak terjadi kepada masyarakat lain," ujar Novel.

Menurut Novel, pembiaran terhadap masalah penegakan hukum malah akan memengaruhi kemajuan suatu bangsa.

"Sekali lagi, saya tidak hanya melihat ini dari kepentingan saya pribadi, tetapi saya melihat sebagai kepentingan semua orang, terutama karena serangan kepada saya ini adalah upaya untuk menyerang pemberantasan korupsi dan ini berbahaya," kata Novel menegaskan.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement