REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Mataram (Ummat) Syafril mengatakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus secara tegas dan terbuka terkait pembukaan sekolah. Sebab, ia menilai, Kemendikbud dan Kemenko-PMK masih saling melempar tanggung jawab terkait hal ini.
"Hendaknya pejabat publik seperti Mendikbud tidak menjauh dari publik, ia harus hadir untuk menerangkan secara terbuka apa masalah yang dihadapi oleh negara saat new normal dilakukan bagi sekolah," kata Syafril, dalam keterangannya, Sabtu (13/6).
Ia menyinggung soal tagar di media sosial #mhsmencarinadiem beberapa waktu lalu. Jangan sampai ada tagar lanjutan ketika rakyat mencari Mendikbud Nadiem Makarim. Ia mengatakan, saat ini yang ada hanya desas-desus di media.
Syafril mengatakan, Kemendikbud harus memikirkan pelaksanaan protokol kesehatan di sekolah. Jumlah rombel siswa di sekolah negeri mencapai lebih dari 40 dengan luas ruang belajar sekitar 80 meter kubik. Fakta tersebut tentu akan sulit untuk mengatur pembatasan sosial.
"Kalau protokol covid mau diterapkan maka harus disiapkan dua kali lipat jumlah ruang pada setiap sekolah yang jumlah rombelnya 30-an siswa ke atas," kata dia.
Selain itu, perlu dipikirkan juga pengaturan siswa ketika pulang sekolah. Sebab, tidak ada yang bisa menjamin siswa akan langsung pulang ke rumahnya seusai sekolah. Oleh karena itu, harus dipikirkan secara matang oleh pemerintah agar tidak muncul klaster baru dari sekolah.
Ketentuan jumlah hand sanitizer dan masker juga harus disiapkan oleh sekolah juga harus ditetapkan. Bagi sekolah yang memiliki biaya mungkin hal ini akan mudah. Namun, Syafril mengatakan tidak sedikit pula sekolah yang kesulitan soal pendanaan ini.
Dari segi kesehatan, juga perlu dipikirkan berapa lama siswa mampu bertahan menggunakan masker di dalam kelas. "Di sekolah yang disiplin saja seperti Korea bisa gagal dan kembali sekolah dari rumah. Apalagi Indonesia dengan varian budaya dan karakter disiplin yang beraneka ragam," kata dia lagi.