REPUBLIKA.CO.ID, Kehadiran dinasti Islam ke dataran Eropa banyak dicatat dalam sejarah. Tepat pada 15 Juni kemarin kala 1389 lalu, menjadi hari berlangsungnya pertempuran Kosovo antara Islam dan Bangsa Barat. Kala itu Islam telah mendominasi Eropa Timur setelah menundukkan Balkan dan mendirikan kekaisaran Ottoman.
Osman Bey, pendiri Turki dari kekaisaran Ottoman, terus melakukan penyebaran Islam ke penjuru Eropa Timur. Dia mengutus putranya, Ibn Batutua dan penerusnya, Orhan untuk menggantikannya, mengingat saat itu, 1323, Osman Bey harus terbaring sekarat karena penyakitnya.
Saat menjalankan misinya, Ibn Batutua dan Orhan berhasil merebut kekuasaan di kota-kota Kristen. Mulai dari Smyrna pada 1329, Nicea di 1331, dan Nicomedia pada 1337. Kekuasaan Kristen terus berjatuhan ke tangan mereka bagaikan domino.
Pada 1340, seluruh Anatolia barat laut berada di bawah kendali orang Turki. Pada 1354, orang Turki Ottoman, di bawah kekuasaan putra Orhan, Suleiman, berhasil menyeberang Dardanella dan masuk ke kota Gallipoli dan membangun pijakan pertama mereka di Eropa. Seorang sejarawan Ottoman menulis, saat melakukan penaklukkan Gallipoli, Suleiman menghancurkan gereja-gereja atau mengkonversikannya menjadi masjid. Suleiman juga menghancurkan bel-bel gereja dan melemparkannya ke dalam api. "Jadi, sebagai ganti bel ada sekarang muadzin," tulisnya yang dikutip di PJ Media, Selasa (16/6).
Sejak 'pembersihan' itu, Gallipoli menjadi kota kebanggaan Ottoman yang diibaratkan sebagai tenggorokan Muslim yang menelan (menghancurkan) setiap bangsa Kristen. Penyerangan berkedok misi keagamaan itu, terus berlanjut melumpuhkan seluruh perdesaan sekitar Gallipoli.
“Mereka hidup dari busur dan pedang mereka, berpestapora dan menemukan kesenangan saat mengambil budak, mengabdikan diri mereka untuk membunuh, menjarah, merusak,” jelas Gregory Palamas, seorang metropolitan Orthodox yang sempat ditawan di Gallipoli.
"Mereka tidak hanya melakukan kejahatan ini, tetapi bahkan mereka percaya bahwa Tuhan menyetujuinya kejahatan mereka!" sambung Palamas.
Setelah kematian Orhan pada 1360, di bawah kepemimpinan putranya, Murad I, pemimpin pertama yang mengadopsi gelar Sultan, mulai melancarkan misi ke wilayah barat Balkan mulai dari Bulgaria dan Makedonia. Kekuasaan Turki yang semakin mencekik wilayah-wilayah Eropa membuat orang-orang berbondong-bondong mendukung tekad Pangeran Lazar dari Serbia untuk mengalahkan pasukan Murad pada 1387.
“Ada kegembiraan membuncah di antara orang-orang Slavia Balkan. Orang-orang Serbia, Bosnia, Albania, Bulgaria, Wallachian, dan Hongaria dari provinsi-provinsi perbatasan semuanya bersatu di sekitar Lazar, dalam sebuah tekad untuk mengusir orang-orang Turki keluar dari Eropa," ujar Palamas.
Murad menanggapi kelancangan ini pada 15 Juni 1389, di Kosovo. Dalam pertempuran itu, pasukan Lazar yang terdiri dari 12 ribu orang koalisi mayoritas Serbia, dan kontingen Hungaria, Polandia dan Rumania, berperang melawan 30 ribu pasukan Utsmani dibawah komando sang sultan.
Pada malam sebelum pertempuran, Murad memohon syahid atas kematiannya. Suatu saat menjelang akhir pertempuran, doanya terkabul. Menurut sejarah, datanglah Milose Obilić, seorang kesatria Serbia, ke hadapan Murad. Obilić diketahui bekerjasama dengan Lazar untuk mengalahkan Murad.
Saat dia berlutut dalam penyerahan palsu, dia menerjang dan menikam belati jauh ke dalam perut sang panglima perang Muslim. Pembalasan pasukan Murad atas penghianatan itu dilakukan dengan menggulingkan pasukan Serbia.
Meski telah sekarat karena mengalami pendarahan serius, namun Murad masih diberikan waktu yang cukup lama untuk menikmati penyiksaan atas musuh bebuyutannya. Lazar yang saat itu berhasil ditangkap, lalu disiksa dan dipenggal di hadapannya.
Setelah kekalahan pasukan Lazar, akibat jumlah pasukan yang tidak imbang, membuat pasukan burung bangkai berpesta sambil menikmati ribuan bangkai yang memenuhi Kosovo. Saking banyaknya burung bangkai yang berpesta di Kosovo, kota itu dinamai sebagai Field of Blackbirds.
Bertahun-tahun setelah pertempuran Kosovo, pasukan Ottoman menjadi tak terhentikan. Muslim terus menaklukkan semakin banyak wilayah di Eropa, Konstantinopel bahkan secara permanen jatuh ke tangan Islam pada 1453.
Ingatan tentang peristiwa menyedihkan akibat pasukan Muslim masih banyak terekam di ingatan orang-orang Eropa Timur. Membuat mereka memasang mode waspada terhadap imigran Muslim yang datang ke wilayah mereka. Kewaspadaan ini diungkapkan Perdana Menteri Hongaria, Victor Orbán.
Dalam pernyataannya, dia mengungkapkan pilihannya untuk membatasi jumlah komunitas Muslim di negaranya. Alasan tersebut tak lain sebagai perlindungan diri sekaligus upaya pencegahan segala resiko yang mungkin saja disebabkan oleh komunitas Muslim.
"Kami tidak ingin mengkritik Prancis, Belgia, negara lain, tetapi kami pikir semua negara memiliki hak untuk memutuskan apakah mereka ingin memiliki banyak Muslim di negara mereka. Jika mereka ingin hidup bersama dengan mereka, mereka bisa. Tapi kami tidak ingin dan saya pikir kami memiliki hak untuk memutuskan bahwa kami tidak ingin banyak orang Muslim di negara kami," ujar Victor yang dikutip di PJ Media.
"Kami tidak suka konsekuensi memiliki sejumlah besar komunitas Muslim yang kami lihat di negara lain, dan saya tidak melihat adanya alasan bagi orang lain untuk memaksa kami menciptakan cara hidup bersama Muslim di Hongaria yang tidak ingin kami lihat. Saya harus mengatakan bahwa untuk hidup bersama dengan komunitas Muslim, kami terus mengingat pengalaman menyakitkan, saat kekaisaran Ottoman Islam menguasai Hongaria yang dipenuhi pembantaian dan perbudakan orang Hongaria, yang kami jalani selama 150 tahun," tutupnya.