Rabu 17 Jun 2020 05:38 WIB

Kapten Edhie Lettu Doni Sepiring Berdua dalam Selimut Tempur

Doni mengingat Pramono Edhie sebagai pemimpin yang tak memikirkan dirinya sendiri.

Prajurit TNI melakukan upacara pemakaman mantan KSAD ke-27 Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, Ahad (14/6).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Prajurit TNI melakukan upacara pemakaman mantan KSAD ke-27 Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, Ahad (14/6).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika

Pantai Betano berpasir putih nan indah. Apalagi saat matahari terbit. Untuk menjangkaunya, bisa ditempuh sekitar 30 menit dari Kota Same. Same merupakan kota di pedalaman Timor Timur (sekarang Timor Leste). Sekitar 81 kilometer (km) di selatan Kota Dili. Dari Dili ke Same ditempuh kurang lebih lima jam.

Satuan Tugas (Satgas) Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dipimpin Letnan Kolonel (Infanteri) Sjafrie Sjamsoeddin, abituren Akademi Militer (Akmil) 1974. Pasukan Sjafrie tiba di Same menggantikan satgas pimpinan Letnan Kolonel (Infanteri) Zacky Anwar Makarim, abituren Akmil 1971.

Sjafrie dan pasukan menempati bivak satgas Zeni untuk tidur pada malam hari. Namun tidak demikian dengan yang lainnya. Mereka mencari tempat masing-masing dalam posisi siaga tempur. Apalagi beberapa hari sebelumnya, pada pertengahan September 1990, Mokaro yang dikenal sebagai pengawal Xanana Gusmao, tewas ditembak pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Tentu ada kemungkinan serangan balasan dari Falentil, faksi bersenjata Fretilin (Frente Revolucionario de Timor Leste Independence). Xanana Gusmao adalah Panglima Falintil, Angkatan Bersenjata Timor Leste. Ia menjadi pengganti Nicolau dos Reis Lobato yang ditembak mati pada 1981.

“Don, kita tidur di pos pengawas saja,” kata Kepala Seksi Operasi Satgas Kopassus di Timor Timur, Kapten (Infanteri) Pramono Edhie Wibowo kepada Letnan Satu (Infanteri) Doni Monardo, jelang akhir September 1990.

Pos pengawas berada di tepi pantai. Pos di ketinggian sekitar 2,5 meter ini luasnya sekitar 1,5x2 meter. Lebih pas ditempati satu orang untuk tidur. Malam hari suhu di pantai terasa dingin. Kapten Edhie dan Lettu Doni pun harus istirahat. Edhie abituren Akmil 1980 dan Doni Akmil 1985.

Mereka tetap menggunakan pakaian dinas lapangan loreng TNI dengan sepatu lars hitam dan senjata SS-1, pistol, serta pisau komando. Jelang tidur, Kapten Edhie mengeluarkan selimut dari dalam ranselnya. Selimut yang bertuliskan 'US Army'. Selimut tempur yang tipis, untuk seorang tentara.

Namun, Kapten Edhie berbagi selimut dengan Letnan Doni. Tidur di balik selimut dengan tubuh bersenggolan, karena tempat yang sempit. “Itulah Bang Edhie, beliau pemimpin yang tidak memikirkan dirinya sendiri. Tidak jarang ia juga makan satu piring dengan anak buahnya,” kata Letnan Jenderal (Letjen) Doni Monardo mengenang almarhum Jenderal (Purnawirawan) Pramono Edhie Wibowo

Doni terkenang dengan selimut tersebut. Saat berkunjung ke Amerika Serikat (AS) suatu hari, ia mencari selimut bertuliskan US Army. Selimut tempur yang mirip seperti kepunyaan Pramono Edhie Wibowo. “Bang Edhie dekat dengan saya. Jika bertemu kerap menanyakan anak pertama saya, Azzianti,” kata Doni, haru.     

Patriot bangsa

Pada Ahad (14/6) malam WIB, penulis mengunjungi Doni Monardo di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jalan Pramuka, Jakarta Timur. Tujuannya satu, menanyakan pengalaman Doni bersama almarhum Jenderal (Purnawirawan) Pramono Edhie Wibowo. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ke-27 yang wafat pada Sabtu (13/6) malam WIB.

Begitu jumpa sekitar pukul 20.30 WIB, Doni sedang bersiap melakukan konferensi video. Tentu saja dalam kapasitasnya sebagai kepala pelaksana Gugus Tugas Penanganan Percepatan Covid-19. Ia mengenakan batik kehijauan ditutupi jaket rompi krem BNPB dan celana panjang jins biru. “Saya masih sedih, Pak Edhie wafat. Kami seperti abang adik,” katanya membuka percakapan, sekitar pukul 21.30 WIB.

Doni menceritakan, komandannya yang pertama saat ia ditempatkan di Grup-1 Kopassus adalah Lettu (Infanteri) Pramono Edhie Wibowo. Saat itu, usai lulus dari pendidikan komando, Doni ditempatkan di Kompi 112, Batalyon 11, Grup 1 Kopassus di Serang, Banten. “Bang Edhie sebagai komandan kompinya. Jadi beliau atasan saya langsung.”

“Kamu ditempatkan di sini (Grup 1 Kopassus) untuk menjadi patriot bangsa. Siap berkorban jiwa dan raga untuk bangsa dan negara. Jadilah tentara yang profesional,” begitu pesan Lettu Edhie saat menerima penempatan Letda Doni di Kompi 112.

Betul saja, selama 12 tahun, sejak 1986 hingga 1998, kerja Doni sebagai personel pasukan komando hanya berlatih, berlatih, dan berlatih, kemudian terjun dalam operasi tempur. Terakhir, penanganan kerusuhan massa dalam peristiwa Mei 1998.

Doni menceritakan, suara Lettu Edhie menggelegar jika memberikan pengarahan kepada anak buahnya. Mengetahui kalimat mana yang  intonasinya harus ditinggikan. Namun yang mengejutkan, Edhie begitu dekat dengan para anak buahnya.  Padahal Edhie merupakan anak seorang tokoh militer, Jenderal Kehormatan (Purnawirawan) Sarwo Edhie Wibowo.

“Bang Edhie rendah hati dan tidak pelit berbagi ilmu. Terutama ilmu kepemimpinan. Juga memberikan contoh  kepada anak buahnya bagaimana cara hidup sederhana dan bersahaja,” ujar Doni.

Makan nasi bungkus bersama, makan dalam satu piring dan tidur dalam satu selimut. Hal itu dirasakan Doni dalam sejumlah peristiwa bersama Edhie.  Termasuk saat operasi tempur di Timor Timur. 

 

Kepemimpinan

Suatu ketika saat bertemu dengan para wartawan tahun 2014, sebagai jenderal purnawirawan, Edhie juga menceritakan hal yang diungkapkan Doni. Edhie mengaku kedekatan dengan anak buah sudah terbentuk saat berada di kesatuan elite TNI AD tersebut. Terutama saat bertugas di Timor Timur.

“Saya memimpin pasukan yang kecil. Dulu saya kalau makan satu piring dengan prajurit. Saya berusaha membangun kedekatan dengan mereka. Kalau tidak, pas lagi tempur, mereka bisa ninggalin kita. Habislah kita," kisah Edhie.

Edhie memilih untuk bersikap membumi. Tidak menunjukkan diri sebagai anak jenderal legendaris penumpas Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965-1967. Doni menceritakan bagaimana Edhie menggunakan mobil sedan sederhana buatan jepang saat berpangkat kapten. 

Walau akrab dengan anak buah, Edhie tetap bisa bersikap tegas kepada bawahannya. Termasuk saat dia mengungkapkan bahwa anak buahnya (personel Kopassus di Surakarta) melakukan penembakan di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta, Maret 2013 lalu. Kasus ini menyebabkan empat orang tewas ditembak personel Kopassus. Mereka pelaku pengeroyokan terhadap seorang anggota Kopassus hingga twas di sebuah café.

Edhie juga menekankan sikap anak buahnya terhadap lawannya di medan tempur. “Don, kamu beritahu anak-anak. Jangan sampai menyiksa tawanan perang,” kata Letnan Doni menirukan perintah Kapten Edhie di medan operasi Timor Timur.

Bertempur secara kesatria, jangan menganiaya lawan yang sudah menyerah. Itulah salah satu pesan Kapten Edhie di medan tempur. Saat Edhie menjadi bagian dari tim Satgas Kopassus di Timor Timur, dipimpinan oleh Letkol Sjafrie Sjamsoeddin.

“Pak Sjafrie memilih sendiri personel yang akan dibawanya ke medan tempur. Saya beruntung bisa masuk dalam tim itu, termasuk bersama Bang Edhie,” ungkap Doni menceritakan kisahnya bersama KSAD periode 30 Juni 2011 hingga 20 Mei 2013 ini.

Saat terjadi kerusuhan Mei 1998, Mayor Doni Monardi menjadi Komandan Batalyon 11 Grup 1 Kopassus. Sebagai Komandan Grup 1 Kolonel Pramono Edihe Wibowo. Sedangkan Wakil Danyon Mayor (Infanteri) Ida Bagus Purwalaksana. Ida kini menjadi Irjen Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dengan pangkat Letjen. “Don, ingat tangani dengan humanis dan tegas,” perintah Kolonel Edhie kepada Mayor Doni.

Doni menerjemahkan perintah tersebut kepada anak buahnya agar dekat dengan masyarakat, terutama masyarakat kalangan bawah di Jakarta. Pasukannya berhasil mengadang massa yang hendak mengarah ke Markas Polda Metro Jaya.

Setelah berhasil mengamankan wilayah Bendungan Hilir hingga Jembatan Semanggi, pasukan Doni digeser ke Jakarta Utara (Jakut). Doni menempati Markas Koramil Kelapa Gading. Sedangkan Kolonel Edhie di Markas Kodim Jakut.

Doni menerjemahkan perintah Edhie dengan melakukan operasi permen. Seluruh anggotanya dibekali permen (gula-gula) untuk diberikan kepada anak-anak di kawasan penduduk menengah ke bawah. Anak-anak pun digendong pasukan Doni untuk membantu ibu-ibunya sambil diberikan permen.

Hampir semua gang atau jalan kecil di kawasan itu dijaga pasukan Batalyon 11 Grup 1 Kopassus. Tujuannya untuk menghalau massa yang hendak bergerak menjarah kawasan pertokoan di Kelapa Gading. Doni sukses menjalankan tugas yang diberikan Edhie. Pendekataan teritorial menembak hati rakyat menjadi cegah dini terhadap niat aksi kerusuhan massa. 

Saat Edhie menjadi KSAD, Doni menjabat Wadanjen Kopassus (2011-2012) serta Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (15 Juni 2012-5September 2014). Kehilangan komandan Edhie, Doni pun langsung menuju rumah duka di kawasan Cikeas, Kabupaten Bogor, Sabtu (13/6) malam WIB. Termasuk menghadiri upacara penghormatan militer untuk jenazah Jenderal Edhie di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama, Kalibata, Jakarta Selatan.

“Saya kehilangan pemimpin yang bersahaja…” pungkas Doni.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement