REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara
Pandemi telah mengubah perilaku konsumsi masyarakat Indonesia. Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) mengungkap e-commerce berjenis marketplace atau pasar daring sedang menuai panen keuntungan pada masa normal baru. Sebaliknya pelaku bisnis ride sharing atau ojek daring justru setengah rugi akibat dihantam pandemi Covid-19.
"E-commerce sendiri memiliki berbagai jenis, ada yang berbentuk marketplace yang saat ini sedang menuai panen di masa normal baru. E-commerce jenis ini tetap terus menjalankan bisnisnya dengan penambahan kapasitas," ujar Ketua Umum idEA Ignatius Untung, Jumat (19/6).
Selain itu, dia juga menambahkan bahwa jenis e-commerce lainnya yang menuai panen adalah marketplace yang spesifik. Misalnya marketplace yang menawarkan produk kebutuhan barang sehari-hari.
E-commerce yang menawarkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat saat ini juga dinilai sedang menuai keuntungan, di tengah pandemi yang masih mengintai kesehatan publik. Namun, lanjutnya, disayangkan bagi kalangan pelaku e-commerce yang menggeluti ojek daring saat ini mengalami kondisi setengah merugi akibat hantaman wabah Covid-19.
"Ketika pandemi melanda Indonesia kemudian terbit keputusan ojek online tidak boleh menarik penumpang, otomatis bisnis ride sharing mengalami penurunan drastis," kata Ignatius.
Lebih lanjut dia mengatakan kendati kategori layanan lainnya yakni order makanan via ojek daring meningkat, sayangnya peningkatan dalam kategori ini tidak menutupi kerugian di kategori layanan angkutan penumpang. "Walaupun saat ini telah memasuki masa normal baru, saya memperkirakan pertumbuhan dalam layanan angkutan penumpang ojek online belum kembali seperti sebelum pandemi," ujar Ketua idEA tersebut.
Alasannya banyak perusahaan dan institusi yang masih memberlakukan kebijakan kerja dari rumah bagi para pegawainya. Sebagian masyarakat juga masih khawatir untuk menggunakan layanan ojek daring, ditambah lagi belum ditemukannya vaksin untuk Covid-19.
Salah satu perubahan yang dirasakan e-commerce akibat pandemi juga meningkatnya pengguna model bisnis business-to-consumer (B2C). Seperti di e-commerce agrikultur Indonesia, TaniHub.
Menurut CEO TaniHub Ivan Arie Sustiawan, dibandingkan dengan model business-to-business (B2B), model bisnis B2C di perusahaan rintisan yang berfokus pada produk pertanian tersebut mengalami lonjakan yang cukup signifikan.
"Market B2C naiknya di luar ekspektasi, bisa dibilang anomali juga. Karena saat ini orang-orang belanja kebutuhan secara online untuk menghindari infeksi di masa pandemi ini," kata Ivan melalui seminar virtual, Jumat (19/6).
Sebagai informasi, B2C merupakan penjualan produk langsung kepada pelanggan, atau segmen ritel. Sementara B2B adalah model penjualan yang terjadi antara pelaku bisnis dengan pelaku bisnis lainnya.
Meskipun penjualan B2B mengalami penurunan, Ivan menilai tren ini wajar terjadi, menyusul adanya adaptasi dan perubahan kebiasaan atau gaya hidup masyarakat saat ini. "Petani dulu memilih menjual secara offline dan sekarang mereka minta tolong untuk menjual secara online. Kita melihat kesempatan tersebut untuk menyalurkan hasil petani secara efektif," kata dia.
"Dan masyarakat pun aware dan berubah kebiasaannya untuk belanja online. Terbukti jumlah user yang belanja online semakin bertambah," ujar Ivan melanjutkan.
Pria yang memiliki latar belakang akuntan dan lama berkecimpung di industri keuangan hingga ritel itu menambahkan, melalui fenomena ini dapat memunculkan peluang usaha baru. Terbukti dengan banyaknya pelaku startup di bidang makanan, agrikultur, dan groceries saat ini.
"Kesadaran masyarakat semakin tinggi dan ini peluang kita untuk memberikan keyakinan belanja online agar dapat menikmati bahan pangan dari petani," kata Ivan.
"Dengan jumlah populasi yang besar, tren ini akan berdampak positif di bidang agrikultur dan groceries. Ini peluang yang baik. Banyaknya pemain membuktikan bahwa market-nya besar di waktu mendatang," pungkasnya.
Pandemi telah memaksa pelaku usaha mengubah strateginya demi bertahan. Salah satunya lewat peralihan ke dunia digital.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mencatat sebanyak 301.115 usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) beralih ke usaha digital selama pandemi Covid-19. “Sejak 14 Mei hingga 9 Juni 2020 ada 301.115 UMKM yang bertransformasi digital,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Menko Airlangga mendorong pelaku UMKM lainnya untuk memanfaatkan momentum ini untuk memperluas penetrasi pasar karena terjadi perubahan pola konsumsi pasar dari konvensional menjadi digital. Ia mengungkapkan beberapa bisnis dalam jaringan atau online yang melonjak signifikan selama masa pandemi virus corona ini adalah kebutuhan rumah tangga sebesar 400 persen.
Kemudian disusul penjualan produk kecantikan sebesar 80 persen dan busana 40 persen serta usaha pengiriman barang yang naik 35 persen. Potensi nilai ekonomi digital menjadi lebih tinggi pada tahun ini diprediksi mencapai sekitar 35 miliar dolar AS dan tahun 2025 mencapai 101 miliar dolar AS.
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) mencatat ada 64,1 juta pelaku UMKM di Indonesia per semester I tahun 2019. Dari jumlah itu, sebanyak 63,3 juta atau 98,6 persen merupakan pelaku usaha mikro, sisanya pelaku usaha menengah (1,2 persen) dan menengah (0,09 persen).
Dari 64,2 juta pelaku UMKM itu, baru 13 persen atau sekitar 8,3 juta UMKM di antaranya yang sudah memanfaatkan digitalisasi dalam menjalankan usahanya.
Pandemi memang mengganggu ekonomi dan melemahkan daya beli. Tapi ada sejumlah sektor yang dianggap bisa menjadi lokomotif ekonomi Indonesia.
Pengusaha Sandiaga Uno mengungkapkan sektor usaha yang mampu membangun ekonomi di Tanah Air saat normal baru setelah pandemi Covid-19 yakni pangan, kesehatan dan telekomunikasi digital. “Ini masih amat menjanjikan bisa menjadi sektor yang menarik lokomotif pembangunan ekonomi,” katanya.
Menurut dia, sektor tersebut paling dibutuhkan masyarakat termasuk mendukung perekonomian. Ia menilai faktor risiko kesehatan masyarakat memang harus menjadi utama namun sektor usaha yang menjadi pemenang pada masa pandemi virus corona itu juga diberikan jalan untuk direlaksasi atau dibuka.
Sebagai pengusaha, ia mengapresiasi langkah pemerintah yang mengalokasikan insentif kepada UMKM sebesar Rp 123 triliun karena sektor ini menyerap banyak tenaga kerja. Ia yakin dukungan insentif dan paket kebijakan pemerintah itu bisa membalikkan keadaan dan membangkitkan kembali perekonomian negara.
Tak hanya UMKM, stimulus yang dianggarkan pemerintah itu juga ditunggu korporasi dan perbankan. Khususnya untuk membantu kelangsungan sektor usaha lain, seperti manufaktur atau pengolahan yang menyerap pekerja dan berbasis ekspor.
“Kita harus mampu memperkuat perekonomian. Indonesia bisa dan pasti akan mampu membalikkan tren saat ini, kita berikan insentif dan seri paket kebijakan yang cepat dan tepat sasaran,” katanya.
Di sisi lain, pandemi Covid-19 ini, lanjut dia, juga mengakselerasi industri 4.0. Percepatan tersebut lebih banyak mengandalkan digitalisasi yang nantinya mendorong pola belanja konsumen maupun cara kerja pelaku UMKM.