REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Seorang pengungsi asal Suriah menyampaikan susahnya menjalani kehidupan di Lebanon setelah negara itu dilanda krisis sejak akhir tahun lalu. Kondisi itu kemudian diperparah dengan adanya pandemi wabah Covid-19 yang membuatnya tidak bisa banyak berharap seusai pandemi berakhir.
Aisha, namanya. Delapan tahun lalu, dia tiba di Lebanon bersama suami dan anak-anaknya untuk melarikan diri dari kengerian Tanah Air mereka, Suriah. Selama mengungsi di Lebanon, mereka membangun rumah kecil di Lembah Bekaa, dan keluarga akhirnya merasa aman.
"Ada pekerjaan untuk saya, suami saya, dan anak-anak saya. Kami bisa mendapatkan sayuran dengan harga murah, semua makanan terjangkau," kata Aisha seperti dilansir dari Zaman Alwsl yang mengutip France 24, Ahad (21/6).
Lebanon saat ini adalah rumah bagi sekitar 900 ribu pengungsi yang melarikan diri dari perang saudara berdarah Suriah. Tetapi setelah ekonomi Lebanon jatuh akhir tahun lalu dan negara itu dilanda krisis virus corona, para pengungsi bahkan lebih berjuang untuk meletakkan makanan di atas meja.
Setelah krisis ekonomi Lebanon yang menyebabkan lira jatuh, yang dilanjutkan krisis pandemi Covid-19 beberapa bulan kemudian, kehidupan menjadi sangat sulit bagi keluarga Aisha. Kebutuhan makanan pokok meningkat harganya.
Harga makanan di Lebanon meningkat dua kali lipat, bahkan dalam beberapa kasus naik sampai tiga kali lipat. "Setelah corona, tidak ada makanan lagi. Anda pergi untuk mendapatkan hasil tetapi Anda kembali karena tidak mampu membelinya," kata Aisha.
Sepupunya, Basawi, yang juga tinggal di kamp, mengatakan situasinya sangat buruk sehingga beberapa anak tidak pernah melihat daging selain dari jendela tukang daging. Istrinya bekerja 13 jam sehari di ladang, menghasilkan hanya 20 sen per jam. Dia harus bekerja selama empat jam hanya untuk dapat membeli satu liter susu.