Selasa 23 Jun 2020 15:33 WIB

Memasukan Semua Gagasan Sukarno Kacaukan Tafsir Pancasila

Tulisan lanjutan Kitab Suci Baru Itu Bernama RUU HIP (#2)

Nasihin Masha
Foto: istimewa/doc pribadi
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nasihin Masha

Sejak reformasi, setiap 1 Juni, PDIP selalu memperingatinya sebagai hari lahir Pancasila. Bahkan dalam pidato dan spanduknya penyebutannya pun khas dalam satu tarikan napas: “Pancasila 1 Juni”. Perjuangan mereka untuk menjadikan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila akhirnya tercapai. Walau ada pihak-pihak yang berkeberatan, pemerintahan Jokowi, pada 2016, menetapkan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Saya sendiri termasuk yang sepakat tentang penetapan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila (lihat tulisan saya tentang ini di link ini: https://republika.co.id/berita/o940p2318/kontroversi-hari-lahir-pancasila-tulisan-1). Di masa Sukarno, 1 Juni memang diperingati sebagai hari lahir Pancasila. Di dua tahun awal kekuasaannya, Soeharto masih memeringatinya. Namun setelah itu Orde Baru hanya memeringati hari kesaktian Pancasila tiap 1 Oktober.

Baca Juga

Namun demikian, apakah dengan peringatan hari lahir Pancasila tiap 1 Juni menjadikan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai Pancasila yang legal? Dalam Kepresnya, Jokowi sama sekali tak menyinggungnya. Ia tetap merangkaikannya dengan 22 Juni 1945, 18 Agustus 1945, dan bahkan 5 Juli 1959. Pancasila yang legal adalah Pancasila pada 18 Agustus 1945 sesuai keputusan PPKI. Lalu apa kaitan ini dengan RUU HIP?

Karya Bersama

1 Juni 1945 adalah hari pidato Sukarno dalam sidang BPUPK. Ia berpidato di hari terakhir, namun ini justru menjadi pidato yang menentukan. Crème de la crème dari semua pidato dalam menjawab permintaan ketua sidang, Radjiman Wediodiningrat, untuk mencari “dasar Indonesia merdeka”. Sukarno sendiri mengistilahkannya dengan philosophische grondslag (dasar falsafah) dan weltanschauung (pandangan dunia atau world view), namun ia lebih sering menggunakan istilah weltanschauung. Dengan pidato paling akhir itu, Sukarno juga berkesempatan untuk memetik pendapat-pendapat sebelumnya – ini juga menunjukkan pikirannya yang terbuka dan jiwa yang jujur dalam mencerna pendapat yang baik.

Sukarno bukan sekadar memetik dan mengekstrak, tapi juga mematangkan gagasan-gagasannya sebelumnya. Ia sudah banyak membaca buku, mempelajari bangsa-bangsa lain, menimbang realitas sejarah dan kenyataan bangsanya, dan kemudian ia merumuskannya menjadi gagasannya sendiri. Sukarno mengaku sudah memikirkan tentang dasar bagi negaranya sejak 1918. Ia membaca Ernest Renan, Otto Bauer, Sun Yat Sen, Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru, Adolf Hitler, Karl Marx, dan lain-lain. Namun ekstrak pertama ia kemukakan pada 1932 dengan mengemukakan ide tentang sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, yang pada 1 Juni 1945 masing-masing ia sebut sebagai perasan dari nasionalisme dan kemanusiaan serta demokrasi dan kesejahteraan sosial.  

Baca juga: 

Roeslan Abdulgani, saat itu sekjen kementerian penerangan, dalam sebuah pidatonya pada 10 Maret 1954, mengemukakan riwayat benih-benih Pancasila tesebut. Pidato yang kemudian diterbitkan kementerian penerangan menjadi sebuah buku berjudul Ideologie dan Negara itu, Roeslan menyatakan, “Perlu kiranya diingat, bahwa sejak sebelum fundamen itu menjelma ke dalam bentuknya sebagai fundamen negara, ide Pancasila itu sudah ditaburkan benih-benihnya. Di antara penabur-penabur benih itu, adalah Bung Karno, yang menurut kata beliau sendiri, sejak tahun 1918 telah mendengung di dalam jiwanya suatu pandangan hidup kemasyarakatan yang pada tahun 1933 menjadi fundamen daripada rangka perumahan statuten partai yang dipimpinnya yaitu Partai Indonesia atau Partindo. Fundamen itu, dulu beliau namakan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi atau marhaenisme. Pada waktu yang bersamaan penabur benih Bung Hatta, memperkaya fundamen itu dengan menekankan ide kolektivisme.”

Lebih lanjut, Arek Suroboyo yang menjadi orang kepercayaan Sukarno di era Demokrasi Terpimpin dan menjadi juru bicara Usdek dan Manipol (Jubir Usman) mengatakan, “Pada tahun 1945, ditambah dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka benih-benih itu menjelma menjadi fundamen lengkap daripada perumahan konstitusi negara Republik Indonesia.”

Gagasan kebangsaan sudah lama menjadi ciri gerakan di Eropa. Namun konstruksi bagi negara-negara Dunia Ketiga tak cukup dengan kebangsaan, orang pertama yang melakukan itu adalah Sun Yat Sen saat mendirikan Republik Tiongkok dengan menumbangkan negara tradisional kekaisaran pada 1912 dengan gagasan San Min Chu I atau Three Principle (Bandingkan dengan Five Principle atau Pancasila). Yaitu kebangsaan, demokrasi, dan sosialisme. Dari keterangan Roeslan, yang memiliki hubungan dekat dengan Sukarno, ide tentang kolektivisme yang menjadi ciri sila kelima Pancasila berasal dari Muhammad Hatta, sedangkan ide Ketuhanan ia sebut muncul pada 1945. Bisa jadi itu saat sidang-sidang BPUPK. Saat persidangan itu, beragam usulan tentang dasar Indonesia merdeka banyak bermunculan.

Tentang ide-ide saat sidang di BPUPK itu, Yudi Latif, dalam bukunya Negara Paripurna, telah mengkelompokkan orang-orang yang mempunyai usul-usul tersebut.  Yudi menulis, pentingnya Ketuhanan untuk dijadikan fundamen kenegaraan dikemukakan Muhammad Yamin, Wiranatakoesoema, Soerio, Soesanto Tirtoprodjo, Dasaad, Agoes Salim, Abdoelrachim Pratalykrama, Abdul Kadir, KH Sanoesi, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Soepomo, dan Mohammad Hatta. Pentingnya nilai Kemanusiaan sebagai fundamen kenegaraan dikemukakan oleh Radjiman Wediodiningrat, Muhammad Yamin, Wiranatakoesoema, Woerjaningrat, Soesanto Tirtoprodjo, Wongsonagoro, Soepomo, Liem Koen Hian, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo. Pentingnya nilai Persatuan sebagai fundamen kenegaraan dikemukakan antara lain oleh Muhammad Yamin, Sosrodiningrat, Wiranatakoesoema, Woerjaningrat, Soerio, Soesanto Tirtoprodjo, Abdoelrachim Pratalykrama, Soekiman, Abdul Kadir, Soepomo, Dahler, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo. Pentingnya nilai-nilai Demokrasi Permusyawaratan sebagai fundamen kenegaraan antara lain dikemukakan oleh Muhammad Yamin, Woerjaningrat, Soesanto Tirtoprodjo, Abdoelrachim Pratalykrama, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan Soepomo. Pentingnya nilai-nilai Keadilan/Kesejahteraan Sosial sebagai fundamen kenegaraan dikemukakan antara lain oleh Muhammad Yamin, Soerio, Abdoelrachim Pratalykrama, Abdul Kadir, Soepomo, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo.

Namun begitu, semua orang itu menyampaikannya tidak dalam gagasan yang terstruktur rapi, argumentasi yang sistematis, solid, dan utuh. Sukarno-lah satu-satunya orang yang menyampaikan usulan lima dasar itu dengan argumentasi sistematis, terstruktur, runtut, dan solid. Bahkan ia memberinya nama Pancasila, setelah mendapat masukan dari Muhammad Yamin. Sehingga tak salah jika kemudian Ki Hadjar Dewantara, dalam bukunya Pancasila pada 1950, menyebut Sukarno sebagai pencipta Pancasila. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Notonagoro saat menjadi promotor pemberian gelar doctor honoris causa untuk Sukarno di UGM Yogyakarta. Walau kemudian dengan rendah hati, Sukarno menyatakan bahwa ia hanya penggali Pancasila, bukan pencipta Pancasila.

Trisila, Ekasila

Pada pasal 7 Ayat (2) dan Ayat (3) RUU HIP terdapat aturan yang menyebutkan bahwa Pancasila dapat diperas menjadi Trisila dan Ekasila. Hal ini merujuk pada pidato Sukarno pada 1 Juni 1945. Sukarno menawarkan kepada sidang untuk memilih Pancasila, Trisila, atau Ekasila. Namun putusan pada 18 Agustus yang diterima adalah Pancasila. Walaupun diksi Pancasila tidak termuat dalam bunyi putusan itu, yang didokumentasikan menjadi Pembukaan UUD 1945. Rumusan kalimatnya pun sudah mengalami perubahan, demikian pula urutannya pun sudah mengalami perubahan. Sesuai usulan yang diberikan Sukarno, Pancasila itu diurutkan dan dirumuskan sebagai berikut: kebangsaan Indonesia, internasionalisme (atau peri kemanusiaan), mufakat atau demokrasi (yang disebut juga permusyawaratan atau perwakilan), kesejahteraan sosial (yang disebut juga keadilan sosial), dan ketuhanan.

Namun kemudian urutan dan rumusan bakunya, sesuai putusan tanggal 18 Agustus 1945, menjadi: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ketuhanan bergeser dari nomor 5 menjadi nomor 1 dan kemanusiaan mendahului kebangsaan dan bukan sebaliknya seperti urutan sebelumnya. Urutan ini bukan sekadar urutan, karena masing-masing memiliki filosofinya tersendiri. Urutan nomor satu menjadi semacam mahkota yang mengayomi urutan berikutnya. Ketuhanan didahulukan karena ketuhanan menjadi inti dari semuanya. Hal ini dijelaskan oleh Hatta. Hamka, dalam tulisannya pada 1951, menyebutnya sebagai urat tunggang. Namun bagi Sukarno, kebangsaan yang menjadi mahkota. Karena yang menjadi pembeda satu negara dengan negara lainnya adalah kebangsaannya, bukan agamanya misalnya. Namun kemudian ia menerima ketuhanan menjadi sila pertama. Hal itu terlihat saat ia memberikan kursus tentang Pancasila. Namun kemudian, saat memberikan kursus itu, Sukarno menyebutkan kebangsaan di urutan kedua, bukan kemanusiaan seperti urutan yang resmi dan baku. Kenyataan ini menunjukkan jalan pikiran Sukarno tentang Pancasila. Katanya, “Ini soal kebiasaan saja.”

Setelah mengusulkan lima sila itu dengan namanya Pancasila, saat pidato 1 Juni 1945, Sukarno melanjutkan: “Atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal tiga saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah perasan yang tiga itu? […] socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang dengan simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan menjadi satu. Apakah yang satu itu? […] maka dapatlah satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan gotong-royong. […] Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Ekasila. Tetapi terserah kepada Tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: Trisila, Ekasila, ataukah Pancasila?”

Jika kita telusuri dari tulisan-tulisan Bung Karno serta dari pernyataan Roeslan Abdulgani maupun dari buku Yudi Latif, Sukarno sudah lama menyampaikan gagasan tentang sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Hal itu bisa dibaca pada artikelnya yang terbit di Fikiran Ra’jat dengan judul Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi pada 1932. Jadi boleh dikatakan itu semacam ‘dwisila’. Dalam bukunya, Yudi Latif menilai sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi itu merupakan “sintesis dari substansi ketiga ideologi” nasionalisme, islamisme, dan marxisme. Sukarno sudah menyimpulkan tiga ideologi tersebut pada 1926.

Namun dalam pidato-pidatonya setelah proklamasi, Trisila dan Ekasila kerap disampaikan Bung Karno. Yang mencengangkan adalah ketika Bung Karno mengungkapkan kandungan Trisila yang berbeda dengan isi Trisila yang kita kenal selama ini.  “Nah, Saudara-Saudara, belakangan, belakangan aku juga berkata bahwa Pancasila ini bisa juga diperas lagi secara lain, bukan secara Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, tetapi bisa diperas pula secara lain, dan perasan secara lain ini adalah Nasakom. Nasakom adalah pula perasan daripada Pancasila, dus Nasakom adalah sebenarnya juga gotong-royong, sebab gotong-royong adalah de totale perasaan daripada Pancasila. Jikalau Nasakom adalah perasan daripada Pancasila, maka perasan daripada Nasakom adalah gotong-royong pula. Benar apa tidak?”

Demikian bunyi pidato Bung Karno pada 1 Juni 1965. Pidato itu dilakukan pada pembukaan Kursus Kilat Kader Nasakom di Istora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Pidato itu telah dibukukan dengan judul Nasakom Adalah Benar. Petikan kalimat tersebut bisa dibaca pada halaman 18. Jadi nasionalisme, agama, dan komunisme (Nasakom) menjadi Trisila baru. Hal ini mengingatkan tulisan Sukarno yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Artikel ini dimuat di Suluh Indonesia Muda pada 1926. Dalam artikel itu, Sukarno menyerukan persatuan para pengikut tiga aliran tersebut. Sukarno menyimpulkan bahwa tiga “asas” itulah yang menjadi “roh pergerakan” di Asia, termasuk di Indonesia, dalam berjuang mencapai kemerdekaan. Dari tiga asas itulah Sukarno kemudian merumuskan ‘dwisila’ tersebut.

Karena itu, memasukkan Trisila dan Ekasila ke dalam bagian tafsir resmi terhadap Pancasila bisa menimbulkan kekacauan baru dalam memahami Pancasila. Walau Pancasila dicipta Sukarno tapi bukan berarti semua pemikiran Sukarno bisa masuk menjadi bagian dari dokumen resmi kenegaraan. Sebagai tokoh besar dan pemikir besar, tentu banyak sekali ide-ide Sukarno, yang hal itu belum tentu disepakati bersama oleh seluruh elemen bangsa ini. Indonesia itu demikian beragam, sehingga harus hati-hati dan cermat dalam menjaga dan menjalin anyaman persatuan. Karena itu, Pancasila juga disebut sebagai penjanjian agung bangsa Indonesia. Jangan kita nodai keagungan itu dengan ambisi kelompok atau golongan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement