REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Peneliti Indonesia Bermutu Hari Setiadi mengingatkan agar Merdeka Belajar yang digagas Mendikbud Nadiem Makarim tidak liar, perlu dimunculkan frame atau rambu-rambu yang sesuai falsafah, adat istiadat bangsa, dan prinsip-prinsip pembelajaran efektif, bermakna, dan berguna. Oleh karena itu, Hari mewanti-wanti Merdeka Belajar wajib berkualitas.
“Guru, kurikulum, buku, pembelajaran, dan penilaian di ruang kelas harus dijaga kualitasnya agar Merdeka Belajar berkualitas bukan merdeka untuk malas belajar,” cetus Hari yang pernah menjadi kepala Pusat Penilaian Pendidikan, dalam Sawala Indonesia Bermutu (IB), Ahad (21/6).
Sawala kali ini dihadiri oleh para peneliti IB dan juga Ketua Umum IB Dr Jaka Warsihna MSi.
Senada dengan Deni, Burhanuddin Tola, Guru Besar UNJ menambahkan,agar niat baik Nadiem untuk memberi ruang yang luas dan waktu nyaris nirbatas bagi guru dan murid dalam menginisiasi, mengisi, dan merefleksi aktivitas pembelajaran agar lebih berguna, bermakna, dan efektif menjadi realitas berkualitas, pemerintah harus menggaransi mutu guru. “Salah satunya dengan menetapkan standar yang tinggi bagi guru baik standar kualitas maupun standar fasilitas,” ujarnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Burhan menambahkan, untuk memastikan Merdeka Belajar diisi dengan aktivitas berkualitas di ruang kelas, pemerintah harus menetapkan standar kelulusan yang tinggi minimal kompetetif global.
Pendiri IB, Deni Hardiana mengatakan Merdeka Belajar berpotensi menuai polemik di ruang publik terutama di kalangan guru, orang tua, dan murid. “Ada yang senang, namun banyak juga yang bingung dengan kebijakan merdeka belajar meski kebijakan tersebut bukan barang baru dalam dunia pendidikan. Carl Ransom Rogers 'sang pionir teori humanisme', puluhan tahun yang lalu telah menulis buku berjudul Freedom to Learn,” ungkapnya.
Menurut Deni, setelah dicerna lebih mendalam, ternyata pemikiran merdeka belajar dalam pendidikan humanistik memiliki empat prinsip utama. Pertama, guru tidak melulu dapat mengajari murid secara langsung. “Guru seharusnya lebih sering memfasilitasi dan memotivasi murid untuk terus bergerak mengisi merdeka belajar dengan aktivitas yang berguna, bermakna, dan efektif,” ujarnya.
Kedua, orang belajar bermakna hanya pada apa yang menurut mereka berguna bagi dirinya. “Ini menjadi alasan mengapa restrukturisasi pembelajaran dan penilaian yang dominan pada partisipasi aktif murid menjadi sangat penting,” tuturnya.
Ia menjelaskan, murid dilibatkan dalam belanja masalah pembelajaran dan menentukan menu pembelajaran yang murid butuhkan sesuai minta juga bakatnya. Pembelajaran dan penilaian dalam konteks ini ibarat dua sisi mata uang, ketiadaan salah satunya akan menghilangkan utilitasnya, rusak salah satunya akan mereduksi nilainya.
Pembelajaran dan penilaian dilakukan sebelum pembelajaran untuk kepentingan penyesuaian kebutuhan dan bekal yang dimiliki murid; pembelajaran dan penilaian pada saat pembelajaran bak petualangan dan gps untuk mencapai destinasi bersama-sama, penilaian memberi informasi lama pembelajaran, rute pembelajaran, strategi dan metode pembelajaran, efektivitas perjalanan, dan indikasi destinasi yang akan dicapai.
“Penilaian setelah pembelajaran dilakukan untuk memastikan semua murid mencapai berbagai destinasi dengan bahagia dan sebagai bekal destinasi selanjutnya,” tuturnya.
Masih menurut Deni, pinsip ketiga, pengalaman pembelajaran di masa lalu akan berasimilasi dengan karakter, pengetahuan, pemahaman, dan kejadian masa sekarang. Dari prinsip ini, keputusan akhir terhadap hasil belajar murid tidak serta merta disimpulkan hanya berdasarkan informasi nilai hasil ujian dalam waktu beberapa jam selama beberapa hari.
“Perlu informasi yang lebih utuh dan mencerminkan rekam jejak perjalanan karakter, pengetahuan, dan keterampilan murid oleh karena itu guru perlu mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari berbagai teknik penilaian terhadap berbagai aspek kompetensi murid dalam waktu jenjang pembelajaran murid,” paparnya.
Prinsip keempat, pengorganisasian diri murid akan lebih kaku jika pembelajaran di kelas dipenuhi dengan instruksi apalagi ancaman. Sejatinya guru dan murid bersama-sama merumuskan keinginan dan kebutuhan, berkolaborasi dalam mencapainya, dan saling mengapresiasi setiap pencapaian pembelajaran.
“Kondisi pendidikan paling efektif terjadi ketika murid merasa ruang kelas sebagai tempat paling aman dan paling nyaman untuk mengekspresikan diri serta guru menjadi orang paling dirindui oleh murid untuk bertukar berbagai informasi", ungkap Deni.