Rabu 24 Jun 2020 02:43 WIB

Catatan Buya Syafii Soal Sejarah Politik Santri

Peran santri terlihat jelas dari jauh-jauh hari sebelum Indonesia merdeka.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Catatan Sejarah Politik Santri . Foto ilustrasi: Suasana santri ketika belajar di Pondok Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur (Ilustrasi)
Foto: REPUBLIKA
Catatan Sejarah Politik Santri . Foto ilustrasi: Suasana santri ketika belajar di Pondok Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sejarah Indonesia mencatat peran santri dan lingkup pesantren dalam membangun peradaban bangsa ini. Namun demikian, keterlibatan santri dalam politik juga bukan tanpa catatan yang harus diperbaiki lebih baik lagi.

Buya Syafii Maarif dalam bukunya berjudul Islam dan Politik menjabarkan bagaimana keterlibatan santri dalam politik bangsa ini. Bahkan peran santri terlihat jelas dari jauh-jauh hari sebelum Indonesia merdeka. Meski demikian, beliau menyoroti kiprah santri dalam sejarah perpolitikan perjalanan bangsa.

Baca Juga

Adapun terminologi santri yang dimaksud Buya Syafii adalah mereka yang dibentuk dan berkembang dalam lingkungan kultural partai-partai dan organisasi-organisasi Islam sejak dekade kedua abad ke-20. Seperti Syarekat Islam (SI), Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis, Nahdlatul Ulama (NU), Al-Washliyah, Persatuan Umat Islam (PUI), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Nahdlatul Wathan (NW), Masyumi, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), dan lainnya.

Sejak Dekrit 5 Juli 1959 yang menjadi tonggak Orde Lama (1959-1966) hingga tumbangnya Orde Baru (1966-1998), kelompok-kelompok santri tersebut telah lumpuh secara politik dan ekonomi. Hal itu disebabkan tidak terlatihnya mereka untuk menjadi dewasa dalam percaturan perpolitikan nasional.

Masyumi sebagai federasi reformis dari beberapa kelompok di atas terlalu pendek usianya, alias bubar pada 1960—di usia bangsa yang relatif masih sangat pendek. Sehingga runtuhnya Masyumi belum berhasil membangun sebuah tradisi politik yang kokoh bagi pengukutnya. Meskipun warisan moral politiknya tetap mengilhami sebagaian anak cucunya sampai hari ini.

Baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru, kedua rezim ini sama-sama berujung pada hirarki dan malapetaka sejarah yang meliputi konflik politik, ekonomi, dan moral. Menurut Buya Syafii, pada kedua periode tersebut Pancasila—bahkan agama—selalu dimuliakan dan digunakan dalam kata dan tulisan. Namun faktanya, Pancasila dan agama kerap dilecehkan dan dikhianati dalam perangai dan perbuatan.

Misalnya, meskipun kedua rezim tersebut sempat menyerempet dengan Muhammadiyah, namun perangai politik kedua rezim tersebut tidak terkait sama sekali dengan doktrin yang dikembangkan dengan persyarikatan itu.

Sehingga untuk menumbangkan rezim yang kadung mengarah kepada otoritarian itu, tradisi santri melalui PP Muhammadiyah pada 1998 yang dipimpin Amien Rais bersama kekuatan mahasiswa menumbangkan Orde Baru. Doktrin Alquran dalam rumusan amr makruf nahi munkar dinilai telah dioperasikan secara prima oleh barusan PP Muhammadiyah dan segenap kekuatan lainnya kala itu.

Menurut Buya Syafii, budaya politik otoritarian tidak memberi peluang kepada manusia untuk menawarkan pemikiran alternatif. Sehingga baik Orde Lama maupun Orde Baru yang feodal dan otoritarian pada ujung perjalanannya masing-masing, telah mewariskan kekacauan politik yang parah pada bangsa ini.

Di sisi lain, sebelum penghujung kedua rezim ini dicatatkan, kalangan santri sempat terpecah menjadi dua golongan. Dalam menghadapi Dekrit 5 Juli 1959, komunitas santri terpecah menjadi dua gelombang, yakni yang menentang dan yang menyetujui dekrit tersebut.

Yang menentang disingkirkan pemerintah dan yang setuju dimasukkan ke dalam sistem. Ironisnya, dekrit yang didukung oleh mayoritas anggota DPR pada masa itu berbeda pendapat dengan Presiden Soekarno mengenai rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sehingga DPR pun dibubarkan.

Hal ini dinilai sebagai sebuah tindakan diktator yang telah dilakukan Presiden Soekarno. Sementara partai-partai yang ada pada waktu itu hanyalah berupaya menyesuaikan diri dengan budaya politik diktatorial itu. Seiring dengan perjalanan politik bangsa, bangsa ini kian tidak memiliki politisi yang berjiwa negarawan.

Golongan santri juga tidak dapat dikecualikan dari arus besar yang masih memprihatinkan tersebut. Sekalipun santri sebenarnya sudah memiliki arus kekuatan kecil yang sehat, jujur, moderat, dan idealis. Golongan santri yang terjun dalam politik justru terkesan sibuk dengan urusan politik praktis.

Beliau mengingatkan bahwa belumlah terlambat bagi golongan santri untuk memperbaiki langkah politiknya sesuai dengan semangat awal dalam memberikan yang terbaik terhadap bangsa. Jika menengok kepada Alquran, beliau berpesan, maka golongan santri tidak boleh terpecah belah dan bercerai berai. Pengalaman sejarah yang penuh trauma masa lalu, tidak boleh dijadikan berhala untuk diabadikan sekarang ini.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement