REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin meminta kepada Komisi III DPR agar melakukan pertemuan dengan Komisi Nasional (Komnas) HAM. Pertemuan untuk menyamakan pandangan terkait pelanggaran HAM berat pada masa lalu yang ingin diselesaikan.
"Saya memang sangat menginginkan nanti pertemuan antara kami dan Komnas HAM, mungkin ada perbedaan," ujar Burhanuddin dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Senin (29/6).
Pertemuan tersebut juga bertujuan mengurangi keributan di publik antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM, khususnya terkait pelanggaran HAM berat di masa lalu. Sebab, saat ini terdapat sejumlah kasus pelanggaran HAM yang belum menemukan titik temu sehingga pertemuan berperan penting dalam penyelesaiannya.
"Ini belum ada titik temunya, karena yang kami terima pemeriksaan-pemeriksaan itu berupa fotokopi-fotokopi saja. Ini juga nanti mohon nanti Pak Ketua, jadi kami bisa dipertemukan," ujar Burhanuddin.
Dalam rapat kerja tersebut, Burhanuddin menyampaikan ada sembilan pelanggaran HAM masa lalu. Kesembilannya, yakni peristiwa 1965/1966, peristiwa Petrus 1982/1985, dan peristiwa Talangsari Lampung pada 1989.
Selanjutnya, peristiwa Rumah Geudong 1990/1999, peristiwa penculikan dan penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, dan peristiwa dukun santet, ninja, dan orang gila pada 1998/1999. Serta, petistiwa Trisakti, Semanggi I dan II, kerusuhan Mei 1998, dan peristiwa Simpang KKA.
"Kejaksaan berkomitmen dan benar-benar serius menyelesaikannya, sepanjang terpenuhi syarat formil dan materil, serta kelengkapan berkas perkaranya," ujar Burhanuddin.
Sinergi dan koordinasi memang diperlukan Kejaksaan Agung dan Komnas HAM dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Hal inilah yang juga disoroti oleh anggota Komisi III Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari.
"Agar tidak terjadi saling lempar-melempar, Komnas HAM melempar ke Kejagung, Kejagung kembali lagi ke Komnas HAM, tidak ada ujung-ujungnya," ujar Taufik.
Sebab, ia melihat penyelesaian kasus pelanggaran HAM bukan disebabkan oleh ketidakmampuan Kejaksaan Agung. Namun, ada pada permasalahan teknis, seperti bukti.
"Persoalan utama justru pada teknis, teknis formal pembuktian yang memang harus kuat, juga jangan sampai gegabah," ujar pria yang akrab disapa Tobas itu.