REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Alkhaledi Kurnialam, Antara
Wabah Covid-19 sudah terjadi di Tanah Air tiga bulan lamanya. Namun, sosialisasi mengenai penyakit ini dipandang belum juga menyentuh segala lapisan. Terbukti dari masih adanya pengambilan paksa jenazah Covid-19 hingga penolakan rapid test di masyarakat.
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing mengatakan sosialisasi terkait bahaya Covid-19 tidak sampai kepada masyarakat dengan baik. Sehingga masih terjadi pengambilan paksa jenazah oleh anggota keluarga pasien.
"Menurut saya ini kegagalan kita dan kementerian terkait dalam menumbuhkan kesadaran di tengah masyarakat," kata dia saat dihubungi di Jakarta, Senin (29/6).
Terkait masih kurangnya sosialisasi bahaya Covid-19 tersebut, Emrus menilai Kementerian Komunikasi dan Informatika merupakan pihak paling bertanggung jawab untuk menyampaikan kepada masyarakat luas melalui perangkat di bawahnya. "Tugas mereka menyampaikan sosialisasi dan menyadarkan masyarakat," katanya.
Sebab, ujar dia, bisa saja masyarakat yang membawa paksa jenazah Covid-19 tersebut beranggapan penyakit itu tidak berbahaya. Karena selama ini mereka kurang mendapatkan sosialisasi yang maksimal.
Ia mengatakan jika merujuk kepada pendekatan teori Evert Rogers terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan kepada masyarakat dalam menyampaikan suatu informasi di antaranya pengetahuan, pemberian persuasif untuk mengubah sikap dan berperilaku. "Pengetahuan mereka tentang Covid-19 ini belum memadai, mereka anggap belum berbahaya," ujar dia.
Hal itu diperparah dengan sejumlah informasi hoaks yang terus beredar di tengah masyarakat. Akibatnya, individu yang memiliki pengetahuan menengah ke bawah salah dalam menyikapi apabila ada anggota keluarga yang terpapar Covid-19 misalnya membawa paksa dari rumah sakit.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo berharap tidak terjadi lagi pengambilan paksa atau perebutan jenazah pasien yang terpapar Covid-19. Presiden dalam rapat terbatas di Istana Merdeka meminta seluruh jajarannya untuk melibatkan tokoh-tokoh agama, masyarakat, budayawan, ahli komunikasi publik dan praktisi lainnya untuk menjelaskan kepada masyarakat mengenai bahaya dan juga risiko penularan virus corona tipe baru yang begitu cepat.
“Kemudian pelibatan tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, budayawan, sosiolog, antropolog dalam komunikasi publik harus secara besar-besaran kita libatkan,” kata Jokowi. Dengan sosialisasi yang baik, ia yakin masyarakat tak akan menolak pemeriksaan rapid test maupun PCR test di berbagai tempat.
“Ini karena apa? Mungkin datang-datang pakai PCR, datang-datang pakai rapid test, belum ada penjelasan terlebih dahulu, sosialiasi dulu ke masyarakat yang akan didatangi sehingga yang terjadi adalah penolakan,” ujar dia.
Jokowi berharap, melalui komunikasi yang baik kepada masyarakat mengenai bahaya dari covid dan penanganannya, tak akan ada lagi masyarakat yang juga memaksa untuk membawa pulang jenazah dari keluarganya.
“Sehingga jangan sampai terjadi lagi merebut jenazah yang jelas-jelas covid oleh keluarga. Itu saya kira sebuah hal yang harus kita jaga tidak terjadi lagi setelah ini,” tambah dia.
Pada Senin (15/6), ratusan ulama dari Forum Silaturahmi Pondok Pesantren (FSPP) Kota Serang menyatakan penolakannya terhadap rencana rapid test Covid-19 massal di pesantren. Pernyataan sikap ini bahkan menjadi viral setelah video penolakan diunggah di media sosial.
Ketua Presidium FSPP Kota Serang, Hasanudin, membenarkan penolakan rencana rapid test massal di pesantren. Dia menilai, penolakan ini merupakan bentuk antisipasi adanya penyimpangan dalam kegiatan tersebut yang dikatakannya telah terjadi di berbagai daerah.
"Kemarin kita adakan diskusi dnegan para kiai dan membahas terkait program pemerintah untuk rapid test di pesantren untuk mencegah corona. Kiai-kiai berpikir ngapain tes kalau orang itu sehat?, ketika pesantren diliburkan juga hanya diam di pondok saja," kata Hasanudin, Selasa (16/6).
Hasanudin mencontohkan, upaya rapid tes di beberapa tempat seperti di Kota Cilegon dan beberapa daerah lain yang seakan hanya menyasar para kiai. "Seperti di Cilegon ada kiai yang tiba-tiba didatangi oleh orang yang menyebut dirinya tim kesehatan. Padahal, kiai itu sehat-sehat saja. Jadi ini langkah untuk mencegah adanya kelompok yang menyalahgunakan rapid test," ujarnya.
Kendati demikian, Pondok Pesantren di Kota Serang dikatakannya tetap akan mengikuti protokol kesehatan seperti social distancing, memakai masker dan cuci tangan. Sebanyak 205 pesantren di Kota Serang bahkan menurutnya telah memperisapkan berbagai fasilitas penunjang kesehatan santri dan kiai.
"FSPP sudah memberikan rekomendasi, tapi masing-masing pesantren sebenarnya sudah melakukan inisiatif seperti kalau nanti santri masuk harus punya surat keterangan karantina di rumah. Artinya, kami tetap mengikuti protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah, hanya saja untuk rapid test sama-sama kita sepakat tidak setuju," ujarnya.
Sosiolog Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Nurul Hayat, menyebut tindakan penolakan oleh warga disebabkan oleh berbagai alasan. Paling utama, ia mengatakan hal ini terjadi karena minimnya edukasi dan sosialisasi covid-19 di tengah masyarakat.
"Edukasi ini penting, bagaimana pemerintah memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang bahaya corona yang tidak kasat mata ini. Cara edukasinya juga jangan terlalu formal, tapi harus disesuaikan dengan keadaan lokal sehingga tidak memberikan kesan jarak," jelas Nurul Hayat.
Menurutnya, cara edukasi harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat, entah kaum urban atau masyarakat desa. "Penyuluh kesehatan ini harus juga memakai cara-cara lokal yang sesuai dengan ke-bantenan, jangan ujug-ujug ada orang berpakaian Nakes (tenaga kesehatan) datang. Saya yakin kalau pakai pendekatan preventif lebih akan merubah mindset," ujarnya.
Hayat menyebut minimnya upaya edukasi akhirnya berimbas kepada liarnya informasi tentang Covid-19 yang didapatkan warga. "Akhirnya informasi yang didapat masyarakat ini beragam, semua berita ditelan mentah-mentah sampai ke hoaks, akhirnya mempunyai kesimpulan kalau tidak rapid test nggak apa-apa," katanya.
Hayat juga menekankan, penolakan rapid test di tengah masyarakat pastinya ada oknum yang menjadi pemicu atau provokator. Provokator ini yang menghembusi informasi-informasi yang kebenarannya masih dipertanyakan dan menciptakan ketakutan di tengah masyarakat.
"Edukasi, informasi ini pemerintah harus dominan, saya yakin di tengah masyarakat pasti ada provokasinya atas penolakan ini dan pemerintah seakan membiarkan. Provokator ini yang memberikan info kepada yang lain kalau terkena corona maka akan dikurung, diasingkan jadi lebih baik ramai-ramai tolak rapid test," katanya.
Penolakan rapid test juga sebelumnya pernah terjadi awal bulan Juni di Pasar Cileungsi, Kabupaten Bogor. Staf Humas dan Keamanan Pasar Cileungsi, Ujang Rasmadi menyebutkan pedagang Pasar Cileungsi bereaksi atas kekecewaannya kepada tim gugus tugas dengan cara menolak pelaksanaan tes cepat massal. Para pedagang mengusir rombongan tenaga medis yang hendak menggelar tes cepat di pasar itu pada Rabu (10/6) pagi.
Menurutnya, pedagang beranggapan sepinya Pasar Cileungsi karena ada pembatasan pengunjung oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kabupaten Bogor. Pembatasan pengunjung itu menimbulkan kecemburuan pedagang Pasar Cileungsi kepada pedagang kaki lima (PKL) di luar pasar yang operasionalnya tidak mendapat pembatasan dari gugus tugas."Ada timbul (permasalahan) seperti itu, karena pedagang yang di dalam yang jelas legal diperlakukan seperti itu (dibatasi) sementara yang di luar diabaikan," tuturnya.
Sedangkan kasus pengambilan paksa jenazah Covid-19 terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Di antaranya yaitu di Makassar, Surabaya, hingga Bekasi.